Perlu Penelitian Lanjutan Letusan Gunung Samalas di Lombok
Oleh
Khaerul Anwar
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Sejarah letusan Gunung Samalas, Gunung Rinjani Tua di Lombok, Nusa Tenggara Barat, mulai terkuak. Namun, masih perlu penelitian lanjutan yang lebih komprehensif guna memperkuat data hasil penelitian sebelumnya, seperti benda-benda yang terkubur di lokasi temuan di Dusun Tanak Bengan, Desa Tanak Beak, Lombok Tengah.
”Sejarah dan hasil letusannya sudah ditemukan di lapangan, tetapi perlu penelitian lanjutan di lokasi temuan saat ini dan di luar lokasi. Sebab, letusan Samalas mengarah ke timur dan ke barat sehingga diperoleh data hasil riset yang lebih komprehensif,” tutur Indiyo Pratomo, pakar geologi di Museum Geologi Bandung—yang datang bersama peserta seminar geowisata yang diadakan Ikatan Ahli Geologi Indonesia—seusai meninjau lokasi tumpukan letusan Gunung Samalas di Dusun Tanak Bengan dan Dusun Ranjok, Desa Tanak Beak, Kamis (19/7/2018).
Menurut Indiyo, lokasi tumpukan hasil letusan Samalas di Tanak Bengan sudah menunjukkan sejarah letusan Gunung Samalas 1257. Karena itu, lokasi letusan yang dijadikan usaha tanah urukan tersebut dihentikan sementara. Pemerintah daerah juga bisa membebaskan beberapa bagiannya karena masih diperlukan penelitian lanjutan di lokasi tersebut dan lokasi lain yang diduga tempat semburan letusan Gunung Samalas, seperti Lombok Timur dan Lombok Utara.
Indiyo mengatakan, data lapangan terdahulu dan terkini ditambah kajian pustaka nantinya dianalisis secara komprehensif sebagai bahan kesimpulan identifikasi dan rekonstruksi Gunung Samalas.
Kepala Seksi Sumber Daya Manusia Dinas Pariwisata Lombok Tengah Amir Suhudal berjanji menyampaikan keinginan warga Desa Tanak Beak untuk pembebasan lahan tempat terkuburnya letusan Gunung Samalas. Apalagi, pemilik lahan tidak lagi menggali tanah uruk di lokasi itu, bahkan pemuda desa itu membentuk Pokja Geowisata Samalas.
Sebelumnya, Tim Badan Geologi Bandung—terdiri dari Iwan Kurniawan, Heryadi Rahmat, dan arkeolog Lutfi Yondri—serta Balai Arkeologi Bali melakukan survei di Dusun Tanak Bengan dan Dusun Ranjok pada 6 Juli 2018. Tim menemukan pecahan keramik dan subfosil gigi di Dusun Ranjok.
Di hamparan tanah seluas 1 hektar di Dusun Tanak Bengan, tim juga menemukan serpihan sebaran tembikar dan singkapan piroklastik setinggi lebih dari 10 meter. Endapan piroklastik itu menunjukan urutan peristiwa letusan Samalas dari awal sampai akhir.
Di bawah endapan piroklastik ditemukan lapisan budaya masa lalu yang diindikasikan sebagai sebaran temuan tembikar, keramik, fragmen tulang binatang, dan fragmen logam yang diduga berkaitan dengan nama Pamatan pada masa lalu.
Temuan lain berupa pecahan keramik abad IX-X, batu gandik tanpa batu pipisan—alat untuk menghaluskan bumbu masak—dan alat memasak lain masih tertanam di lokasi itu. ”Dari hasil survei ini, adanya sebaran tembikar yang luar biasa, indikasi permukiman jelas,” ujar Lutfi Yondri.
Keberadaan temuan-temuan di Dusun Tanak Bengan menginformasikan cerita-cerita masyarakat dan babad Lombok yang menyebut nama Samalas dan Desa Pamatan. Dalam butir 274 babad berbahasa Jawa Kuno yang tersimpan di Museum Leiden, Belanda, itu dikatakan Gunung Rinjani longsor dan Gunung Samalas runtuh, banjir batu gemuruh, menghancurkan Desa Pamatan, rumah roboh dan hanyut terapung-apung di lautan, penduduknya banyak yang mati.
Babad Lombok menjadi ”pintu masuk” Frank Lavigne, dari Departemen Geografi Universitas Paris 1 Pantheon-Sorbonne, Perancis, melakukan penelitian bersama 15 ahli gunung api, termasuk tiga orang dari Indonesia. Dari hasil penelitian itu, diketahui dampak letusan Samalas seperti perubahan cuaca, banjir, cuaca dingin, dan hujan tanpa henti di Eropa.