JAKARTA, KOMPAS — Meski bukan kali pertama sistem penerimaan peserta didik baru secara daring diberlakukan, sejumlah permasalahan masih ditemukan pada pendaftaran tahun ini. Setidaknya, dari hasil pemantauan koalisi masyarakat sipil peduli pendidikan ditemukan ada enam permasalahan utama dalam proses penerimaan siswa baru pada 2018.
Koordinator Advokasi Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Nailul Faruq, saat dihubungi Kamis (19/7/2018) di Jakarta, menyampaikan, salah satu catatan yang ditemukan adalah maraknya penggunaan surat keterangan tanda miskin (SKTM) palsu di sejumlah daerah, seperti di Jawa Tengah.
Kebijakan minimal kuota 20 persen untuk masyarakat miskin justru dimanfaatkan orangtua yang anaknya tidak memiliki nilai cukup ataupun takut bersaing agar bisa masuk ke sekolah pilihannya.
”Surat itu dapat dibuat dengan mudah tanpa ada verifikasi lebih lanjut dari pejabat yang mengeluarkan. Indikasi suap-menyuap pun bisa terjadi saat proses pembuatan SKTM ini,” katanya.
Selain itu, masalah lain yang ditemukan adalah adanya tes baca tulis hitung (calistung) dan psikotes untuk calon peserta didik kelas I sekolah dasar di madrasah ibtidaiyah, Jakarta.
Keputusan Dirjen Pendidikan Islam Nomor 481 Tahun 2018 tentang PPDB tertulis, kedua tes tersebut diperbolehkan dalam pendaftaran peserta didik. Padahal, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 terdapat aturan larangan tes calistung bagi siswa yang akan masuk sekolah dasar.
Tidak ada kuota afirmasi untuk anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 juga menuai masalah lain dalam PPDB 2018.
Banyak orangtua dari ABK enggan bersekolah di sekolah selain sekolah luar biasa (SLB) karena tidak ada komitmen dari pihak sekolah. Dalam konteks ini, aturan madrasah di bawah Kementerian Agama lebih ramah terhadap ABK. Keputusan Dirjen Pendidikan Islam Nomor 481 Tahun 2018 memberikan kuota minimal 10 persen bagi ABK.
Kebijakan zonasi yang diterapkan saat ini dinilai sudah baik, namun karena tidak diimbangi dengan pemerataan kualitas sekolah menyebabkan sebagian orangtua masih bersikeras memasukkan anaknya di sekolah favoritnya. Di beberapa daerah, sistem zonasi mensyaratkan nilai calon peserta didik yang baik sehingga ditemukan peserta didik yang tidak diterima di sekolah yang dekat rumahnya karena nilai standar.
Masalah jaringan server juga masih ditemui di beberapa daerah. Hal ini ditemukan misalnya di SMAN 1 Balikpapan. Selain itu, masalah Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang tidak terdaftar dalam sistem juga menghambat pendaftaran siswa didik.
Pungutan liar dan jual beli bangku masih terjadi pada PPB 2018. Pungli ini seperti pungutan yang disebutkan sekolah untuk biaya untuk perbaikan fasilitas, lembar kerja siswa, seragam, dan buku. Padahal dalam Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 tentang PPDB Pasal 25 disebutkan, sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah maupun masyarakat yang menerima Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dilarang melakukan pungutan atau sumbangan yang terkait dengan pelaksanaan PPDB.
Rekomendasi
Berdasarkan hasil pemantauan proses PPDB 2018 tersebut, sejumlah rekomendasi diajukan koalisi masyakarat sipil ke pemerintah.
Rekomendasi tersebut antara lain, perlunya sinkronisasi peraturan PPDB yang diterbitkan oleh Kemendikbud dan Kemenag tentang hal-hal krusial terkait dengan proses PPDB. Misalnya, tidak adanya pungutan saat PPDB di semua jenjang, kuota afirmasi untuk anak tidak mampu dan ABK, serta tidak adanya tes calistung dan psikotes di jenjang SD/MI.
Selain itu, pemerintah diminta untuk menyamakan kualitas sekolah sebagai syarat pengimpelembtasian sistem zonasi. Hal ini penting agar konsep sekolah favorit yang dinilai unggul dari segi sarana dan prasarana sekolah tidak berlaku lagi.
Sistem PPDB daring juga perlu lebih terintegrasi dengan data Kepedudukan dan Catatan Sipil terkait dengan pemutakhiran NIK. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi lagi masalah NIK yang tidak terdeteksi. Selain itu, Pemda harus memastikan bahwa permasalahan server down tidak akan terjadi lagi.
Partisipasi masyarakat dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses PPDB sangat diperlukan. “Pemerintah juga perlu mendorong partisipasi masyarakat dalam mengawasi proses PPDB. Tanpa ada laporan dari masyarakat dan orangtua murid, kecurangan PPDB akan terus terjadi dan berulang,” ujar Nailul.