Semangat itu membingkai karya-karya Haryanto Gunawan yang dipamerkan di Ciputra Artpreneur mulai 15 Juli sampai 19 Juli 2018 bertajuk ”Spirit [e]motions”. Pameran tunggal keduanya ini menampilkan puluhan lukisan abstrak dalam ukuran jumbo. Mulai yang berdimensi 120 cm x 120 cm sampai 200 cm x 300 cm. ”Pameran ini untuk mengenang ulang tahun Mamie,” kata Haryanto.
Dalam sajaknya berjudul ”Mamie”, Haryanto melukiskan bahwa ibunya telah dipilih untuk melahirkannya di bumi yang sempit. Namun, ibunya lalu mengajarkan tentang luasnya galaksi. Dari yang terbatas menuju sesuatu tanpa batas.
/Karena itu, di taferil-taferilkuku/ paduan aneka garis/ warna serentak/ terus bergerak/ terus mengalir/ terus bergulir/ menerobos jarak/ mengarungi ruang serta waktu/ menembus batas-batas kanvas/ melompati hadangan pigura// Begitu Haryanto menggambarkan sosok ibunya.
Hasilnya berupa karya yang spontan sekaligus dinamis. Gerakan-gerakan tegas tampak dominan tetapi kemudian seolah luluh dalam karakter airbrush yang lembut dan halus. Ketegasan yang dibalut kelembutan seperti cara seorang ibu membesarkan anaknya.
Pada ”Surfing”, Haryanto seolah keluar dari pekem cara dia melukis yang cenderung penuh dan simetris. Pada karya kali ini, komposisinya agak berat ke kiri dan kosong di kanan. Namun, justru itu yang memberi kesan dinamis. Selain itu, lukisan yang memakai palet besar dengan cara diputar ini memunculkan garis melingkar yang tidak mulus. Terasa sekali ada gerakan yang tersendat.
Apalagi, itu semua dapat diabaikan ketika melihat komposisi warna yang cantik: warna dasar perak yang ditimpa dengan warna biru dan sedikit merah jambu bercampur putih. Ada nyala semangat di sana. Seperti cara seorang ibu mencintai anaknya. Bisa saja dia salah dalam cara, tetapi seorang ibu tidak pernah ragu dalam menuangkan cinta untuk anaknya.
Menyimak lukisan-lukisan Haryanto, segera dapat dikesankan bahwa sebenarnya lukisan-lukisan abstrak tidak serta-merta datang dari alam abstrak yang sama sekali tidak pernah dialami manusia. Haryanto–sebagaimana dikatakan Aminudin TH Siregar dalam pengantar kuratorialnya–menafsirkan realitas yang dia alami atau yang dia persepsikan ke dalam karya.
Banyak kalangan menyoal bahwa seniman harus mampu mewakili suara khalayak. Mendobrak tatanan tak sehat, menyapa yang papa, atau mengingatkan tirani. Dalam level tertentu, itu benar adanya. Namun, dalam level lain, tidak ada salah meluangkan emosi dalam jiwa untuk menunjukkan nuansa batin. Sebab, bisa jadi orang lain juga tengah mengalami hal serupa.
Dengan demikian, Haryanto lewat karyanya bisa membantu menyediakan wahana katarsis untuk sama-sama menuangkan emosi dan semangat tentang jiwa juga cinta. Terutama cinta kepada sosok ibu.