Di Sekolah Nomaden, Masa Depan Berawal
Demi menyelenggarakan pendidikan di sekolah negeri, guru di Kota Bekasi rela mengerahkan segala daya upaya. Mereka menjalankan pendidikan di sekolah yang berpindah-pindah dengan sepenuh hati. Keterbatasan tak jadi penghalang.
Tekad bulat Mawardi Yusuf (32) untuk ikut membangun SMP negeri di Kelurahan Bantar Gebang, Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi, sejak dua tahun lalu, belum mengendur. Saat itu, ia yang berprofesi sebagai guru SD negeri di Kecamatan Bantar Gebang, mantap mengajukan mutasi tugas.
Guru yang berstatus sebagai tenaga kerja kontrak (TKK) Pemkot Bekasi itu ingin mengajar di sekolah yang baru saja dibuka untuk wilayah Kelurahan Bantar Gebang, yaitu Unit Sekolah Baru (USB) SMPN 49.
“USB SMPN 49 merupakan SMPN pertama yang ada di Kelurahan Bantar Gebang,” ujar Mawardi, Selasa (17/7/2018).
Menurut Mawardi yang lahir dan besar di wilayah tersebut, sebelumnya masyarakat sulit mendapatkan sekolah negeri, karena harus berpindah wilayah. Sebagian besar warga bersekolah di institusi swasta. Biaya pendidikan yang murah menjadi pertimbangan banyak orangtua mengejar sekolah negeri.
Mawardi pun terpanggil ketika Pemkot membuka sekolah negeri di wilayahnya. Ia menyerahkan seluruh daya upaya demi merintis USB SMPN 49.
USB SMPN 49 merupakan satu dari lima sekolah yang didirikan Pemkot pada 2016, tanpa memiliki gedung sendiri. USB SMPN 49 merupakan salah satu dari lima sekolah yang didirikan Pemkot pada 2016, tanpa memiliki gedung resmi. Selain USB SMPN 49, ada pula SMPN 45, 46, 47, dan 48.
Kegiatan belajar-mengajar menumpang di sekolah lain. Namun, masa menumpang di satu sekolah belum tentu bisa lama.
Rizda Ayu Oktavianas (14), murid angkatan pertama USB SMPN 49, mengatakan, sejak dibuka pada 2016, sekolahnya sudah empat kali pindah tempat. Pada waktu penerimaan hingga masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) selama seminggu, kegiatan dilakukan di sekolah induk mereka, yaitu SMPN 27 Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantar Gebang.
Setelah itu, kegiatan belajar- mengajar tak bisa dilanjutkan. Mereka pun pindah ke SMPN 8 Kelurahan Bojong Menteng, Kecamatan Rawalumbu, yang jaraknya sekitar 8 kilometer dari sekolah sebelumnya. Aktivitas di sana hanya bertahan 1 bulan.
Bulan berikutnya, belajarmengajar menumpang SDN Padurenan 5, Kecamatan Mustikajaya, dan berlangsung satu tahun. “Sekolah terakhir yang kami tumpangi kini, SDN Sumur Batu II, Kecamatan Bantar Gebang,” kata Rizda.
Menurut Mawardi, tidak semua sekolah berkenan memberikan tumpangan dalam waktu yang lama. Para guru di USB harus siap mencari sekolah pengganti ketika sudah tidak diizinkan menumpang. Sebab, lokasi tumpangan tidak disediakan dan tidak diatur langsung oleh Dinas Pendidikan, melainkan harus diusahakan sendiri. “Setelah kami mendapatkan tempat yang cocok dan bisa ditumpangi, baru kami memohon persetujuan dari Dinas Pendidikan,” ujar dia.
Jika mendapatkan tumpangan di sekolah negeri, mereka bisa berkegiatan secara gratis. Namun, jika menumpang di sekolah swasta, pihak USB harus membayar sewa dengan dana operasional dari pemerintah.
Kepala USB SMPN 49 Endang Koswara mengatakan, dana operasional sekolah didapatkan dari pemerintah pusat dan pemkot. Pemerintah pusat memberikan Rp 1 juta per siswa setiap tahun, sedangkan pemkot Rp 90.000 per siswa tiap tahun.
Guru terbatas
Selain tidak memiliki gedung, sumber daya guru pun terbatas. Saat ini, USB SMPN 49 memiliki 15 guru dengan 324 siswa. Sebelas guru berstatus sebagai TKK dan empat guru pegawai negeri sipil (PNS).
Guru Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) USB SMPN 49 Muslim Hanief mengatakan, sebagai satu-satunya guru IPS, ia harus mengajar di semua kelas. Tidak ada jam kosong baginya selama jam sekolah, dari Senin-Jumat, pukul 12.30-17.30.
Sebagian guru harus mengajar lebih dari satu mata pelajaran. Mawardi, misalnya, tidak hanya mengajar pendidikan jasmani sesuai dengan latar belakang pendidikannya, tetapi juga mengajar Bahasa Sunda. “Mau tidak mau harus kami jalani, karena memang kekurangan guru,” kata Mawardi.
Muslim menambahkan, di samping mengajar, ada guru yang juga wali kelas, pembina ekstrakurikuler, dan panitia masa orientasi peserta didik baru (MOPDB). Tak jarang, pekerjaan tambahan itu memaksa mereka meninggalkan kelas.
Pada MOPDB 2018 Senin-Kamis ini, sebagian besar guru terlibat sebagai panitia. Akibatnya, kegiatan belajar-mengajar kelas VIII dan IX belum efektif. Sepanjang waktu sekolah, siswa kelas VIII dan IX diberi tugas yang dikerjakan mandiri tanpa pendamping. Namun, kebanyakan siswa justru bermain di koridor sekolah.
Bagi Muslim dan Mawardi, seluruh tantangan tersebut tidak membuat mereka gentar. Mereka justru semakin bersemangat untuk menaklukkan setiap hambatan. “Kami ingin sekolah ini maju, dan kami tidak boleh kalah sebelum berperang,” kata Muslim.
Menurut dia, godaan untuk meninggalkan sekolah tentu ada. Apalagi, kompensasi mereka amatlah minim. Sebagai TKK, mereka hanya mendapatkan gaji bulanan Rp 3,9 juta.
Keterbatasan guru juga terasa di USB SMAN 21 Kota Bekasi. Dengan 328 siswa di 10 kelas, sekolah yang masih menumpang di SDN 3 dan 4 Jatimakmur ini memiliki 32 guru. Sejumlah 30 guru TKK dan 2 guru PNS.
Menghadapi Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) pertama kali pada tahun ajaran ini, SMAN 21 tidak memiliki komputer dan server yang menjadi prasyarat ujian. Pihak sekolah berharap ada bantuan peralatan dari pemerintah untuk 115 siswa kelas XII yang akan mengikuti UNBK.
Butuh sekolah negeri
Di tengah keterbatasan USB SMPN 49, Diana Lisa (12), murid kelas VII yang baru saja diterima di sekolah itu tetap bergembira. Dia mengatakan, saat lulus SD telah membayangkan melanjutkan pendidikan di gedung yang besar, dengan banyak teman. Apa daya, ia justru diterima di sekolah yang masih harus menumpang kesana-kemari.
“Tidak apa-apa sekolah USB SMPN 49, karena lokasinya dekat dengan rumah dan memang (saya) tidak mau di sekolah swasta,” ujar Diana.
Iin, warga Kelurahan Bantar Gebang, Kecamatan Bantar Gebang, pun rela menyekolahkan anak di USB SMPN 49, agar mendapatkan pendidikan gratis. Sebab, kondisi ekonomi keluarganya tidak cukup untuk menyekolahkan anak di sekolah swasta. Ia berprofesi sebagai ibu rumah tangga, sedangkan suaminya baru saja dipecat dari sebuah bengkel.
Selain Iin, masih ada lebih dari 100.000 warga miskin yang membutuhkan sekolah negeri. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin di Kota Bekasi cenderung meningkat pada periode 2004-2010.Jumlah penduduk miskin pada 2004 adalah 58.200 orang, naik menjadi 71.500 orang pada 2005 dan 104.000 orang pada 2006. Pada 2007, penduduk miskin kembali bertambah menjadi 106.900 orang. Bahkan, pada 2008 terjadi penambahan jumlah penduduk miskin, yaitu 142.000 orang. Tren meningkat berlanjut pada 2009, terdapat 134.170 orang miskin dan menjadi 148.000 orang pada 2010.
Penurunan jumlah penduduk miskin baru terjadi pada 2011, di mana jumlah penduduk miskin 145.929 orang, pada 2012 kembali turun menjadi 139.842 orang, dan pada 2013 jumlahnya 137.831 orang.
Sayang, jumlah SMPN tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kepala Dinas Pendidikan Kota Bekasi Ali Fauzie mengatakan, baru mampu memenuhi kebutuhan 33 persen dari jumlah lulusan. Adapun jumlah lulusan SD pada 2018 adalah 44.618 orang, sedangkan daya tamping dari 49 SMPN adalah 14.934 orang.
Ali mengatakan, persoalan ketimpangan sekolah negeri dan jumlah lulusan itu ditargetkan tuntas pada 2020. Salah satu langkah yang akan dilakukan adalah menggabungkan beberapa SD yang muridnya kurang dari 200 orang. Kemudian, gedung yang tidak terpakai akan dijadikan SMP.
Sekolah swasta
Sementara kekurangan SMP negeri, jumlah SMP swasta di Kota Bekasi justru terus tumbuh. Berdasarkan data BPS, pada 2011 dan 2012 terdapat 32.302 SMP swasta. Jumlah itu naik menjadi 33.030 sekolah pada 2013, kemudian menjadi 42.336 sekolah pada 2014. Pada 2015, jumlahnya bahkan mencapai 48.524 sekolah.
Selain terjadi ketimpangan dalam penyediaan sekolah negeri, ketimpangan kesejahteraan masyarakat di Kota Bekasi masih terjadi. BPS mencatat, rasio gini di Kota Bekasi selama periode 2011-2013 adalah 0,37. Angka itu turun menjadi 0,33 pada 2014 dan naik menjadi 0,41 pada 2015. Kemudian pada 2016, rasio gini adalah 0,39.
Di tengah kondisi tersebut, dibutuhkan langkah tegas dari pemerintah untuk mengakhiri ketimpangan prasarana pendidikan di tengah masyarakat.