Uji Kir Jangan Sekadar Formalitas
JAKARTA, KOMPAS — Uji kelaikan kendaraan atau uji kir semestinya menjadi salah satu instrumen untuk memastikan kendaraan laik jalan. Oleh karena itu, uji kir perlu dilakukan saksama dengan memeriksa seluruh kondisi kendaraan sehingga dapat meminimalkan potensi kecelakaan. Jangan sampai uji kelaikan ini sekadar formalitas.
Pengamat transportasi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno menilai, uji kir semestinya jangan sekadar formalitas karena uji kendaraan yang mengabaikan prosedur dapat mengancam keselamatan. Salah satu indikator bahwa uji kir tidak sesuai ketentuan adalah kendaraan yang melampaui dimensi dan asap buang kendaraan berbau dan memicu polusi yang seharusnya tidak lolos uji emisi tetap diloloskan.
Untuk itu, Djoko mendesak agar petugas uji kir dapat juga diperiksa polisi ketika terjadi kecelakaan pada angkutan penumpang ataupun angkutan barang. Jika kecelakaan disebabkan karena kondisi kendaraan tidak laik jalan dan terbukti karena diloloskan dalam uji kir, petugas penguji dapat dikenai sanksi pidana. ”Supaya ada efek jera bagi petugas uji kir juga,” kata Djoko, saat dihubungi, Rabu (11/7/2018).
Menurut Djoko, maraknya pungutan liar ataupun calo di lokasi pengujian kendaraan bermotor di daerah menunjukkan adanya ketidakberesan sistem pengujian, tidak hanya karena petugas uji kir yang melakukan pungutan liar. ”Bisa jadi juga karena tekanan pejabat setempat. Makanya, hukum harus ditegakkan. Jika ada yang bermain pungli, ya, ditangkap saja,” ucap Djoko.
Wakil Direktur Politeknik Keselamatan Transportasi Jalan (PKTJ) Edi Purwanto mengatakan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan, setiap kendaraan yang dioperasikan di jalan wajib memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan. Untuk memastikan itu, dilakukan uji kir.
”Yang perlu dipahami adalah jangan karena mendekati waktu uji kir, lalu kendaraan baru dibenahi agar lulus. Tidak seperti itu. Selama enam bulan, kendaraan harus terus dirawat sehingga laik jalan. Uji kir hanyalah instrumen untuk memastikan kendaraan tetap laik jalan,” ujar Edi.
Seperti diberitakan, berdasarkan pantauan di unit pengujian kendaraan bermotor (PKB) di Kota Bandung dan Kabupaten Bogor (Jawa Barat), Kota Tangerang (Banten), serta Kabupaten Sleman (Daerah Istimewa Yogyakarta), uji kir masih sarat pungutan liar dan calo sehingga kendaraan tidak melalui uji kir yang seharusnya. Bahkan, terdapat kendaraan yang bisa lolos uji kir tanpa harus mendatangi unit PKB.
Pengecekan menyeluruh
Dewan Pakar Ikatan Penguji Kendaraan Bermotor Indonesia (IPKBI) Dwi Wahyono mengatakan, pemeliharaan dan menjaga kondisi kendaraan merupakan tugas dan kewajiban pemilik kendaraan. Uji kir yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali hanya pemeriksaan untuk mengecek kondisi kendaraan tetap laik jalan selama 6 bulan ke depan.
”Uji kir itu hanya 30 menit-60 menit dari total 6 bulan kendaraan itu dibawa pemiliknya. Uji kir itu hanya bagian kecil dalam pemeriksaan kendaraan. Selebihnya menjadi tugas dan kewajiban pemilik untuk memelihara agar fungsi kendaraan tetap prima dan optimal,” ujar Dwi.
Di sejumlah unit PKB di Kota Bandung, Kabupaten Sleman, dan Kota Tegal, uji kir hanya berlangsung sekitar 12 hingga 20 menit. Padahal, untuk mengecek seluruh kendaraan paling tidak dibutuhkan waktu satu jam.
Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Yohanes Nangoi mengatakan, pengecekan yang hanya 15 menit itu kurang untuk bisa mengecek keseluruhan kondisi kendaraan. Di bengkel-bengkel resmi milik APM, pemeriksaan kendaraan bisa lebih dari satu jam.”Waktunya tidak cukup untuk mengecek kondisi kendaraan bermotor,” ujar Yohanes.
Ia mengatakan, pemeriksaan di bengkel resmi agen pemegang merek (APM) berbeda dengan uji kir di unit PKB. Pemeriksaan di APM lebih menyeluruh, mendetail, dan komprehensif. Misalkan uji rem. Di unit PKB, cara mereka uji rem itu, kan, mobil ditaruh di ban berjalan lalu di rem. Nah kalau berhenti berarti, remnya berjalan dan dianggap lulus. Kalau di APM, tidak begitu cara memandangnya. Kami injak rem dalam atau enggak, kalau dalam berarti kanvas remnya sudah tipis. Selain itu, kami periksa saluran oli remnya.
”Kalau model seperti uji kir pemerintah itu, pas uji KIR ya lulus, tapi kan enggak dicek kondisi seluruhnya, makanya banyak kejadian lolos uji KIR dan dijalankan berapa lama kemudian remnya blong. Berarti saluran oli remnya waktu itu enggak bagus. Itu perlu waktu,” ujar Yohanes.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi mengungkapkan, belum semua bus mengikuti uji kir. Hingga awal Juni 2018, baru 50-60 persen dari 49.000 bus yang mengikuti uji KIR. Untuk itu, pihaknya bersama dinas perhubungan daerah akan mengupayakan uji KIR dengan cara jemput bola atau mendatangi terminal dan garasi PO bus. Tahun ini, Kementerian Perhubungan menargetkan 80 persen bus harus ikut uji kir.
Sebanyak 49.000 bus yang terdaftar di Kementerian Perhubungan merupakan total armada dari bus angkutan kota antar provinsi (AKAP), angkutan kota dalam provinsi (AKDP), dan bus pariwisata. Bus-bus itu juga disiapkan untuk angkutan Lebaran.
Budi mengatakan, saat ini masih ada 15 persen dari total armada bus yang belum laik jalan. Jumlah tersebut diketahui dari uji kir yang telah dilakukan. ”Bisa saja hari ini busnya tidak laik, lalu PO memperbaikinya sehingga besok bisa laik jalan. Itu yang kami harapkan,” kata Budi.
Siti Malkhamah, pakar keselamatan transportasi dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Senin (4/6/2018), uji kir hanya satu dari sekian banyak faktor keselamatan transportasi. Menurut dia, salah satu hal yang mendesak menjadi perhatian adalah memperbaiki kesehatan perusahaan angkutan umum.
”Untuk mendapatkan kendaraan yang baik, dibutuhkan sistem manajemen keselamatan di perusahaan. Untuk melaksanakan itu, dibutuhkan organisasi yang sehat. Untuk organisasi sehat, secara finansial harus sehat,” ujar Malkhamah.
Belakangan ini, keluhan dari perusahaan otobus, misalnya, mulai mengemuka akibat berbagai permasalahan, mulai dari menurunnya jumlah penumpang, meningkatnya persaingan, hingga kurangnya kesejahteraan pengemudi bus.
Pemerintah berperan dalam membuat kebijakan untuk melindungi bisnis angkutan umum. Kebijakan itu harus mampu memberi jaminan bahwa penumpangnya banyak. Dengan jaminan adanya penumpang yang menggunakan bus, PO tersebut akan berinvestasi unit bus yang bagus.
Selain itu, kebijakan itu harus bisa berpihak pada kesejahteraan pengemudi bus. ”Kalau kesejahteraan pengemudinya bagus, dia bisa melakukan tugasnya dengan baik dan tenang, tanpa perlu mengejar jam tambahan,” kata Malkhamah. (RYAN RINALDI/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA)