Kisah Penjaga Jalan Pintu Lintasan Kereta Api
Sudarmin (33) duduk menatap panel. Matanya memandang satu per satu tombol. Tidak lama kemudian, ia berdiri ketika mendengar alarm berbunyi tanda ada kereta api akan melintas di Jalan Pintu Lintasan 38, Percetakan Negara, Jakarta Pusat.
Ia pun segera menarik tuas untuk menurunkan palang pintu pelintasan kereta api. ”Saya tidak boleh lengah. Kalau terlambat, bisa berakibat fatal,” ujar pria asal Demak, Jawa Tengah, tersebut saat ditemui Selasa (10/7/2018) dini hari.
Berjaga pada malam hingga pagi menjadi tantangan besar bagi petugas jalan lintas. Mereka harus berjaga di tengah dinginnya malam. Melawan kantuk dan lelah. Pada pagi hari, mereka pun harus menertibkan kendaraan bermotor yang ingin menyerobot palang pintu kereta api yang telah ditutup.
”Kami harus istirahat penuh pada siang hari agar dapat terus terjaga pada malam hari,” ujar Sudarmin.
Bagi petugas jalan lintas, mereka butuh rasa tanggung jawab yang besar dalam menjaga jalan pintu lintasan (JPL). Mereka harus fokus mendengarkan alarm, melihat situasi, dan cekatan dalam bertindak. Bahkan, untuk sekadar ke toilet saja, mereka harus menunda sampai situasi aman.
Menjaga JPL sendirian sering kali menyulitkan Sudarmin untuk mengatur lalu lintas. Ia harus mengatur kendaraan bermotor yang ingin menerobos palang pintu rel kereta api dan memberikan arahan kepada masinis ketika situasi lalu lintas sangat padat. Kedua pekerjaan tersebut dilakukan Sudarmin sendirian secara bersamaan.
Saat ditemui secara terpisah, petugas di JPL 38 Percetakan Negara, Jakarta Pusat, lainnya, Yono (39), beberapa kali mengalami kejadian kurang mengenakkan. Mulai dari melihat korban bunuh diri hingga kecelakaan kendaraan bermotor yang terserempet kereta api. Ia pun beberapa kali harus menjadi saksi atas peristiwa tersebut. Di sisi lain, ia harus tetap menjalankan tugasnya demi menghidupi keluarga.
Beberapa kali Yono mengajak anak dan istrinya untuk melihat pekerjaannya. Mereka pun dapat memahami perjuangan Yono yang tidak mudah. Oleh karena itu, keluarganya memaklumi jika Yono tidak dapat merayakan Lebaran bersama di kampung halaman selama bekerja menjadi petugas jalan lintas.
Berbeda dengan Sudarmin dan Yono yang harus berjaga sendirian, Supri (35) berjaga berdua bersama temannya di JPL 14 Manggarai, Jakarta Selatan. ”JPL yang berada di jalur perempatan jalan harus dijaga oleh dua orang karena tingkat kemacetannya lebih tinggi daripada yang berada di satu jalur,” kata Supri saat ditemui pada Senin (9/7/2018) dini hari.
Di jalur ini, Supri pun lebih santai karena kereta yang melintas tidak sebanyak di JPL Percetakan Negara yang dilintasi kereta api jarak jauh. Di JPL Manggarai, kereta api yang melintas hanya kereta rel listrik (KRL) jurusan Jakarta-Bogor dan kereta barang. Adapun KRL hanya beroperasi dari pukul 04.00 hingga 23.45 sehingga yang melintas pada pagi hari hanya kereta barang.
Mereka akan bekerja keras pada pagi hingga sore karena lalu lintas di perempatan jalan Bukit Duri, Jakarta Selatan, sangat padat dan KRL yang melintas cukup banyak. ”Hampir setiap 10 menit ada kereta yang melintas pada pagi dan sore hari,” ucap pria asal Cirebon, Jawa Barat, tersebut.
Pada pagi dan sore hari, Supri dan teman-teman selalu mengingatkan pengendara yang tidak sabar menunggu. Ia menegaskan, jika menerobos palang pintu JPL, pengendara akan berhadapan dengan maut.
Alih daya
Sebagian besar petugas jalan lintas merupakan karyawan alih daya (outsourcing). Mereka bekerja dengan status karyawan kontrak yang gajinya harus dipotong untuk vendor yang ditunjuk oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI). Namun, sejak awal 2018, mereka mendapatkan tunjangan keahlian sebesar Rp 500.000 per bulan.
Meskipun demikian, mereka masih berharap dapat diangkat menjadi pegawai PT KAI agar mendapatkan kepastian. ”Kami semua berharap menjadi pegawai tetap sehingga tiap tahun tidak khawatir kontrak diputus secara sepihak,” ujar Supri yang telah bekerja sebagai petugas jalan lintas lebih dari lima tahun.
Mereka mengatakan, tanggung jawab menjadi petugas jalan lintas cukup berat karena berurusan dengan nyawa orang lain. Namun, mereka tetap mensyukuri pekerjaan tersebut. Salah satu alasannya, faktor umur yang sudah di atas 30 tahun sehingga sulit mencari pekerjaan baru.
Sebagian besar dari mereka mengawali karier sebagai buruh yang memperbaiki dan merawat jalur rel kereta api. Ketika ada peluang menjadi petugas jalan lintas, mereka pun mengambilnya. Untuk menjadi petugas jalan lintas, mereka harus mengikuti pelatihan khusus untuk mendapatkan sertifikat.
Edy Kuswoyo dari Humas Daerah Operasi I Jakarta menjelaskan, di Jakarta terdapat 528 pelintasan sebidang. Adapun pelintasan yang resmi sebanyak 168. Pelintasan resmi tersebut dijaga oleh 455 petugas jalan lintas. Sebanyak 407 berstatus pegawai alih daya dan 48 berstatus pegawai PT KAI.
Petugas jalan lintas yang berstatus pegawai alih daya dapat mendaftar sebagai pegawai PT KAI dengan mengikuti tes dan sesuai syarat yang berlaku. Salah satu syaratnya adalah berusia 18-25 tahun. Kalau tidak memenuhi syarat tersebut, mereka tetap menjadi pegawai kontrak tiap tahun.