Seperti pertarungan di atas papan catur, setiap langkah China membuat kekuatan lain di kawasan harus bergerak cepat menempatkan bidak-bidak mereka, menghadang laju dan strategi Beijing yang dinilai sangat agresif. Senin pekan lalu, Selandia Baru memutuskan membeli empat Boeing P-8A Poseidon dari Amerika Serikat.
Kepada kantor berita Reuters, Menteri Pertahanan Selandia Baru Ron Mark mengatakan, pembelian pesawat patroli maritim itu untuk mengantisipasi munculnya kekuatan baru di kawasan Pasifik Selatan, yaitu China. Sebelumnya, Selandia Baru merilis pernyataan tentang kebijakan pertahanan mereka yang antara lain mengingatkan bahwa peningkatan pengaruh China di kawasan Pasifik Selatan berpotensi merusak stabilitas regional. Pernyataan itu juga menyoroti ketegangan di Laut China Selatan (LCS), yang sebagian wilayah di kawasan itu diklaim Beijing.
Kebijakan Wellington tampaknya sejalan dengan kebijakan Canberra yang sejak tahun 2014 telah memutuskan mengganti armada P-3 mereka dengan P-8A. Kekhawatiran Canberra dan Wellington atas pengaruh Beijing begitu terasa akhir-akhir ini. Meskipun Australia dan Selandia Baru memiliki hubungan dagang sangat kuat dengan China, mereka pun mencemaskan kebangkitan negara itu. April lalu, Canberra dan Wellington gusar ketika Fairfax Media mengangkat isu pembicaraan antara Beijing dan Port Vila terkait rencana pembangunan pangkalan militer China di Vanuatu.
Sikap Australia dan Wellington setali tiga uang dengan sikap sekutu mereka, Amerika Serikat. Gusar karena kehadiran pengebom H-6K milik China di Pulau Woody—salah satu pulau di gugusan Kepulauan Paracel yang disengketakan dengan sejumlah negara—serta langkah militerisasi lain di wilayah yang disengketakan di LCS, Washington mencoret Beijing dari latihan militer bersama negara-negara Pasifik, Rimpac. Indonesia diundang dalam latihan bersama itu dan mengirim dua kapal perang, yaitu KRI RE Martadinata-331 dan KRI Makassar-590.
Mei lalu, AS pun mengubah pendekatan strategis mereka di kawasan, dari Komando Pasifik menjadi Komando Indo-Pasifik. Wilayahnya diperluas hingga mencakup lingkar Samudra Hindia. Salah satu jalur utama menuju Djibouti, tempat China memiliki pangkalan militer.
Di kawasan Asia, Jepang sebagai salah satu mitra terdekat AS juga mengambil langkah serupa. Baru-baru ini, Tokyo dikabarkan bersiap mengirim kapal induk helikopter mereka ke LCS. Kepada media, kehadiran kapal induk itu, yang juga akan bertandang ke Indonesia, disebutkan untuk memastikan Indo-Pasifik sebagai kawasan yang bebas dan terbuka.
Melihat itu semua, apakah akan ada perang di Asia Pasifik? Kecil sekali kemungkinan untuk itu. Oleh semua negara di kawasan, termasuk Indonesia, China—meskipun agresif—tidak pernah ditempatkan sebagai musuh.
Memang, sikap asertif China di kawasan LCS serta cara bertindak China di kawasan—termasuk penolakan Beijing pada putusan Arbitrase Internasional yang memenangkan gugatan Filipina—membuat banyak pihak tampak lebih defensif sekaligus ofensif kepada Beijing. Namun, berkaca pada isu perang dagang antara Washington dan Beijing, China adalah mitra sekaligus kompetitor, baik bagi kekuatan global maupun regional. Terkait isu politik dan keamanan di kawasan Indo-Pasifik, China adalah kompetitor untuk memastikan aturan atau ketentuan yang seharusnya berlaku di kawasan.
Selain Konvensi PBB untuk Hukum Laut Internasional, ada mekanisme lain yang tengah digodok ASEAN sebagai kekuatan regional, yaitu kode tata perilaku (CoC). Perlu dukungan agar CoC disepakati serta diberlakukan.
Seperti di atas papan catur, Grandmaster ataupun pemula, semua tunduk pada aturan dan cara bermain yang sama.