Jalan Panjang Pendidikan di Kota Bekasi
Menjadi bekas palagan perang, Bekasi bangkit dengan permulaan berat. Untuk memotivasi belajar warga saja sulit. Kini warga Bekasi sedang berlari mengejar kemajuan zaman.
Memasuki dekade 1980, Bekasi menunjukkan geliat perkembangan. Beragam industri tumbuh dan berkembang wilayah yang berada di sisi timur Ibu Kota ini. Sayangnya, warga Bekasi gagap menghadapi kemajuan pesat ini.
Saat itu, tidak banyak tenaga kerja lokal yang terserap di Bekasi. Hanya sebagian kecil dari mereka yang bisa memanfaatkan peluang yang ada. Sementara mayoritas warga masih terbelakang dalam pendidikan.
”Warga Bekasi kebanyakan masih lulusan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Tenaga kerja seperti guru dan perawat harus direkrut dari luar daerah,” kata pemerhati sejarah Bekasi, Ali Anwar, Jumat (13/7/2018).
Dampak perang
Dibandingkan dengan wilayah di sekitar Jakarta lain, pembangunan sektor pendidikan di Bekasi relatif terlambat. Pada masa pendudukan Belanda, wilayah Bekasi merupakan tanah partikelir yang dikuasai tuan tanah. Meski terdapat bangunan sekolah, aktivitas ekonomi lebih diprioritaskan ketimbang pendidikan.
Keterlambatan itu kian menjadi-jadi selama revolusi fisik melanda pada tahun 1945-1949. Meski pusat komando perang yang berada dari Karawang dan Cikampek, Jawa Barat, arena pertempuran antara pejuang Indonesia dan tentara sekutu ada di Bekasi.
Banyak perkampungan warga yang terbakar karena konflik. Para pemuda pun ikut angkat senjata menjaga kedaulatan negara. Adapun sebagian besar warga sipil mengungsi mencari keselamatan. Tak bisa dimungkiri, aktivitas pendidikan pun berhenti.
Saat situasi masih bergejolak, terdapat sekolah setingkat SD yang sudah dibangun pemerintah kolonial Belanda. Kini, bekas bangunannya menjadi tiga sekolah, yaitu SD Negeri Margajaya I, SDN Margajaya IV, dan SDN Margajaya V, Jalan Veteran Dalam, Kelurahan Margajaya, Kecamatan Bekasi Selatan, Kota Bekasi.
Setelah revolusi fisik usai, tidak ada pembangunan sekolah negeri dalam jangka pendek. Beberapa institusi pendidikan justru didirikan oleh warga, di antaranya sekolah Muhammadiyah dan pesantren yang didirikan pahlawan nasional dari Bekasi KH Noer Ali.
Saat itu, motivasi warga untuk menempuh pendidikan masih minim. Mereka belum memiliki semangat belajar karena orangtua juga tidak terdidik. Kehidupan ekonomi mereka masih porak poranda setelah perang.
”Tokoh masyarakat, seperti ulama, kepala desa, camat, dan mantan pejuang, harus mendatangi rumah-rumah warga serta membujuk mereka agar mau bersekolah,” kata Ali.
Sekolah negeri
HAR Tilaar dalam buku 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995 Suatu Analisis Kebijakan menjelaskan, pembangunan pendidikan nasional pasca-kemerdekaan dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. Namun, beleid itu baru bisa dilaksanakan setelah terbitnya UU No 12 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya UU No 4/1950 dari Republik Indonesia Dahulu tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah untuk Seluruh Indonesia.
Menurut Tilaar, setelah ketentuan itu terbit, ada usaha besar-besaran untuk mewujudkan keinginan agar bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang cerdas.
Salah satu perwujudannya adalah adanya pembangunan sekolah negeri. Adapun sekolah negeri pertama yang dibangun di Bekasi ketika itu adalah sekolah tingkat SMP, yaitu SMPN Bekasi yang kini berada di Jalan KH Agus Salim, Kelurahan Bekasi Jaya, Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi. Sekolah ini selanjutnya dikenal warga dengan nama SMPN 1 Bekasi dan diresmikan pada 1 Agustus 1956.
Menurut Ali Anwar, sejak 1950-an, SMPN Bekasi menjadi satu-satunya SMP di Bekasi. Pendirian sekolah itu diikuti pembukaan SMP lain setelah 1960-an. Bersamaan dengan itu, pemerintah mendirikan sekolah menengah atas negeri (SMAN) pertama di Bekasi, yaitu SMAN Bekasi pada 1963. Selanjutnya sekolah di Jalan KH Agus Salim itu berubah menjadi SMAN 1 Bekasi pada 1983.
”Lulusan SMPN 1 Bekasi sebagian melanjutkan ke SMAN 1 Bekasi, sebagian lainnya melanjutkan sekolah ke DKI Jakarta,” ujar Ali.
Selama pembangunan sejumlah sekolah di Bekasi, SMPN 1 Bekasi menjadi tempat menumpang kegiatan belajar-mengajar. Salah satunya Sutarmiji (49), siswa SMP Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) 1 Bekasi. Pada tahun 1983, dia menumpang belajar di SMPN 1 selama tiga tahun.
Selama menumpang belajar, para siswa masuk mulai pukul 12.00 sampai pukul 17.30. Sebagian guru dari sekolahnya sendiri, sebagian yang lain dari SMPN 1 Bekasi.
”Selain dari PGRI, siswa-siswa dari SMPN 2 dan SMPN 5 juga menumpang di SMPN 1,” kata Sutarmiji yang sejak 1995 bekerja sebagai Staf Administrasi Persuratan SMPN 1 Bekasi.
Wakil Kepala SMPN 1 Bekasi Susi Widya Hesti yang mengajar di sekolah itu sejak 1994 mengatakan, saat itu sekolah membuka 15 kelas untuk setiap jenjang kelas. Seiring bertambahnya jumlah sekolah, penerimaan siswa pun dikurangi. Namun, sebagian warga Bekasi masih menjadikan SMPN 1 sebagai sekolah favorit. Selain nilai sejarahnya, pilihan itu dikaitkan dengan kualitas belajar-mengajar sekolah yang dianggap lebih dari yang lain.
Belum cukup
Peningkatan perhatian pemerintah pada sektor pendidikan berimbas positif di Kota Bekasi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, jumlah sekolah negeri terus bertambah selama beberapa tahun terakhir.
Pada 2001, Kota Bekasi sudah memiliki 10 SMAN. Jumlah itu meningkat menjadi 18 SMAN pada 2016. Untuk jenjang SMPN, pada 2001 terdapat 27 sekolah kemudian meningkat menjadi 49 sekolah pada 2016. Sementara itu, jumlah SD pada 2001 adalah 467 sekolah, tetapi menurun menjadi 421 sekolah pada 2016.
Meski demikian, sejumlah sekolah negeri yang ada belum cukup untuk memenuhi kebutuhan warga. Contohnya pada tingkat SMP, Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Bekasi Inayatullah mengatakan, pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) daring 2018, daya tampung seluruh SMPN adalah 14.934 siswa. Sementara itu, jumlah lulusan SD hampir tiga kali lipat, yaitu 44.618 orang.
Belum semua warga bisa dapat menikmati pendidikan gratis pemerintah. Padahal, jumlah penduduk miskin di Kota Bekasi cenderung meningkat pada periode 2004-2010. Berdasarkan catatan BPS Kota Bekasi, jumlah penduduk miskin pada 2004 adalah 58.200 orang, naik menjadi 71.500 orang pada 2005, dan 104.000 orang pada 2006.
Pada 2007, penduduk miskin kembali bertambah menjadi 106.900 orang. Bahkan, pada 2008, terjadi penambahan jumlah penduduk miskin, yaitu 142.000 orang. Tren meningkat berlanjut pada 2009, terdapat 134.170 orang miskin hingga menjadi 148.000 orang pada 2010.
Penurunan jumlah penduduk miskin baru terjadi pada 2011 di mana jumlah penduduk miskin sebanyak 145.929 orang, pada 2012 kembali turun menjadi 139.842 orang, dan pada 2013 jumlahnya 137.831 orang.
Meski ada penurunan penduduk miskin beberapa tahun terakhir, pengembangan sektor pendidikan tidak bisa diabaikan. Jangan sampai warga Bekasi menjadi penonton perkembangan industri di depan rumahnya sendiri.