Pengunjung melihat koleksi yang ditampilkan dalam pameran koran dan majalah tempo dulu "Titi Mongso" di Bentara Budaya Yogyakarta, Kotabaru, Yogyakarta, Rabu (4/7/2018). Pameran koran dan majalah yang diterbitkan antara tahun 1871 hingga 17 Agustus 1972 ini berlangsung hingga 11 Juli 2018.
Koran dan majalah lama seperti bank data. Membaca koran-koran dan majalah itu, kita seperti ”terlontar” kembali ke masa media itu diterbitkan.
“Sum Kuning pengin djadi Wartawan”. Begitulah judul tulisan utama pada lembaran Si Tjantik yang merupakan sisipan khusus di koran lokal di Yogyakarta, Kedaulatan Rakyat. Tulisan itu berisi wawancara dengan Sumarijem, perempuan asal Yogyakarta yang menjadi korban pemerkosaan oleh sejumlah lelaki pada 21 September 1970.
Kasus pemerkosaan terhadap Sumarijem, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Sum Kuning, mendapat perhatian luas dari masyarakat pada masa tersebut. Hal ini karena penanganan kasus itu ternyata berlarut-larut dan bahkan Sum Kuning sempat diajukan ke pengadilan karena dituduh membuat laporan palsu. Namun, pengadilan akhirnya membebaskan perempuan itu.
Tulisan “Sum Kuning pengin djadi Wartawan” merupakan hasil wawancara dengan Sumarijem setelah perempuan itu dinyatakan tak bersalah oleh pengadilan. Dalam tulisan yang dimuat pada Si Tjantik edisi 25 Desember 1970 itu, Sum Kuning mengungkapkan sejumlah hal, antara lain ketakutannya untuk kembali ke rumah setelah kasus yang menimpanya. Ia juga mengaku takut untuk kembali bekerja sebagai penjual telur.
Yang juga mengejutkan, dalam wawancara itu, Sum Kuning sempat nyeletuk ingin menjadi wartawan. Saat ditanya apa alasannya, ia menjawab dengan lugu: “Kathah kantjanipun (Banyak kawannya).”
Lembaran Si Tjantik edisi akhir tahun 1970 itu adalah satu dari sekian banyak arsip media massa yang ditampilkan dalam Pameran Koran dan Majalah bertajuk “Titi Mongso” di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY). Pameran yang berlangsung 3-11 Juli 2018 itu menghadirkan sekitar 200 arsip koran dan majalah lama yang pernah terbit di Indonesia antara tahun 1871 hingga 1972. Hingga hari terakhir pameran, Rabu (11/7/2018), tercatat ada sekitar 480 orang yang mengunjungi pameran itu.
Untuk menyelenggarakan pameran itu, BBY bekerja sama dengan sejumlah kolektor koran dan majalah lawas. Kurator BBY Hermanu menjelaskan, pameran itu digelar untuk menunjukkan bahwa koran dan majalah lama merupakan sumber informasi yang sangat kaya mengenai beragam peristiwa. “Koran dan majalah lama itu kan seperti bank data. Jadi, kalau membaca koran-koran dan majalah itu, kita seperti kembali ke waktu media itu diterbitkan,” ujarnya.
Hermanu menambahkan, seluruh arsip koran dan majalah yang dihadirkan dalam pameran “Titi Mongso” merupakan terbitan sebelum 17 Agustus 1972 atau sebelum pemerintah mulai memberlakukan bahasa Indonesia dengan Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Oleh karena itu, terbitan-terbitan yang ditampilkan dalam pameran “Titi Mongso” masih menggunakan bahasa Melayu atau bahasa Indonesia dengan ejaan lama.
Terbitan tertua yang ditampilkan dalam pameran “Titi Mongso” adalah surat kabar Bintang Barat edisi 22 April 1871. Koran yang menggunakan bahasa Melayu tempo dulu itu terbit dua kali dalam sepekan di Batavia.
Seperti yang terlihat pada edisi 22 April 1871, Bintang Barat lebih banyak berisi iklan atau pemberitahuan. Salah satu yang dominan adalah iklan penyelenggaraan acara lelang untuk menjual barang-barang tertentu, misalnya kopi, buku, dan perabot rumah tangga. Ada juga iklan acara lelang lahan atau kebun, pengumuman jadwal kapal layar yang berlabuh di Hindia Belanda, hingga iklan jasa dokter.
Perjuangan
Selain terbitan era Hindia Belanda, pameran “Titi Mongso” juga menampilkan sejumlah koran yang terbit beberapa tahun setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Dalam sejumlah koran itu, berita yang dominan adalah mengenai upaya pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan, baik melalui pertempuran maupun perundingan. Dari sejumlah koran era revolusi, terlihat jelas juga bahwa saat itu koran turut menjadi alat perjuangan, bukan sekadar sumber informasi.
Koran Soember edisi 22 Juli 1947, misalnya, memuat tulisan utama berjudul “Kemerdekaan Jang Kita Miliki Harus Kita Pertahankan Sampai Titik Darah Penghabisan”. Tulisan itu memuat pidato Panglima Besar Jenderal Soedirman yang menyerukan seluruh rakyat Indonesia untuk bersiap melawan serangan yang dilancarkan militer Belanda. “Kemerdekaan jang telah kita proklamirkan dan kita pertahankan 23 boelan, kini mesti kita lindoengi dan pertahankan sampai titik darah jang penghabisan,” kata Soedirman.
Pada 6 Juli 1949, koran Pelita memuat kabar tentang rencananya kembalinya Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan sejumlah pemimpin Indonesia ke Yogyakarta yang saat itu merupakan pusat pemerintahan. Pelita edisi hari itu juga melaporkan proses penarikan pasukan Belanda yang sebelumnya berada di Yogyakarta.
Sementara itu, koran Sedar edisi 17 Oktober 1949 memuat pernyataan Menteri Pertahanan RI Sultan Hamengku Buwono IX yang mengingatkan kemungkinan terjadinya kembali pertempuran besar antara pasukan Indonesia dan militer Belanda apabila perundingan dua pihak tidak menghasilkan kesepakatan. “Djika Belanda teroes meneroes bersikep keras dan tida pantes, maka dikwatirken aken meledak pertempoeran setjara besar2an di seloroeh Indonesia,” tulis koran itu.
Keragaman
Pameran “Titi Mongso” juga menampilkan arsip lama sejumlah koran yang masih terbit hingga sekarang, misalnya Harian Kompas dan Kedaulatan Rakyat. Dalam pameran tersebut, kita antara lain bisa melihat edisi pertama Kompas yang terbit pada 28 Juni 1965.
Selain itu, ditampilkan pula berbagai majalah yang terbit dari sejumlah era berbeda dan memiliki fokus berbeda-beda pula. Ada yang fokus pada persoalan kebudayaan seperti Majalah Budaya, ada yang fokus pada kesusastraan seperti Majalah Sastra, dan ada yang fokus pada filsafat seperti Basis. Di sisi lain, ada juga majalah hiburan, misalnya Varia dan Monalisa yang menyebut diri sebagai “Bulanan Pemuas Hati Orang Dewasa”.
Lewat ratusan arsip koran dan majalah lawas yang ditampilkan, pameran “Titi Mongso” berhasil menunjukkan keragaman media massa yang pernah terbit di Indonesia sejak abad 19. Pameran itu juga bisa menjadi pintu masuk bagi mereka yang ingin melakukan studi atas media massa di Indonesia pada masa lampau.
Budayawan Sindhunata mengatakan, arsip koran dan majalah lama merupakan benda sejarah yang memiliki nilai luar biasa karena bisa memberikan informasi mengenai beragam peristiwa di masa lalu. “Banyak sekali nilai-nilai sejarah yang ada di dalam koran-koran itu. Karena itu, kami sungguh sangat menghargai para perawat dokumen koran lama itu,” ujarnya dalam pembukaan pameran “Titi Mongso”. (HRS)