Benturan Budaya “Rocker Balik Kampung”
Perbenturan budaya memang selalu menarik untuk dijadikan topik pembahasan. Termasuk jika isu itu ingin dilayarlebarkan kemudian, seperti dilakukan MSH Films dalam filmnya, Rocker Balik Kampung, yang mulai tayang untuk umum per 12 Juli 2018.
Film bergenre drama komedi, disutradarai dan ditulis naskahnya oleh Uli Rahman ini sejatinya memang ingin memberikan semacam nasihat bahwa yang namanya budaya, baik yang lokal maupun interlokal, tak seharusnya dibentur-benturkan.
Saat berbincang dengan Kompas di malam gala premiere, Selasa (10/7/2018) malam, produser MSH Films, Nayaka Untara, mengatakan, di film ini coba digambarkan perbenturan budaya antara musik rock, yang merepresentasi gaya hidup Barat, dan musik serta kebudayaan Sunda, yang mewakili Timur, spesifik budaya Indonesia.
”Jadi yang mau digambarkan di sini adalah enggak semua budaya luar itu jelek. Malah jika dipadukan bisa menciptakan karya seni baru yang menarik. Kenapa musik rock yang diangkat, selain karena sutradaranya memang dekat dengan genre musik itu, kami juga ingin coba kembali mengangkat kejayaan musik rock, yang sekarang sudah semakin redup,” ujar Nayaka.
Adegan awal film sepertinya memang mewakili keinginan Nayaka tadi. Digambarkan sang tokoh utama, Joe Santani alias Juhana (Winky Wiryawan), memainkan lagu salah satu grup band heavy metal legendaris Tanah Air, Roxx, berjudul ”Rock Bergema”, di depan para penggemarnya.
Lagu berlirik dan bertema, yang lebih kurang mengingatkan orang pada lagu rock klasik ”God Gives Rock \'n Roll to You”, band legendaris dunia, Kiss, boleh jadi tak lagi akrab di telinga para milenial. Tak hanya itu, music rock sendiri juga terkesan lama mati suri, baik di dalam maupun luar negeri.
Selain membawakan lagu rock klasik, film ini juga memiliki soundtrack orisinal yang lumayan enak didengar, ”Hey Joe” dan ”Rocker Kampung”. Lagu pertama adalah singel dari band rock asli, Art Rock, yang sudah malang melintang di peta permusikan Tanah Air sejak satu dekade terakhir. Sementara lagu ”Rocker Kampung” terbilang enak didengar lantaran memadukan alat musik modern dan tradisional.
Lebih lanjut, kisah perbenturan budaya coba digambarkan sang sutradara Uli lewat kegelisahan tokoh utama, yang belakangan diketahui ternyata dipicu ketidakjelasan statusnya di keluarga serta lingkungan tempatnya dilahirkan dan dibesarkan.
Sang sutradara sepertinya mencoba membangun kisah dan ketegangan terkait dengan hal itu walau upayanya memunculkan potongan-potongan puzzle sayangnya tak terlalu mulus. Sosok Joe yang vokalis sekaligus di film ini menjadi pentolan band, Art Rock, digambarkan secara klise sangat sukses, yang tampak dari rumahnya yang sangat luas dan mewah, koleksi motor gede, serta mobil klasik yang pastinya tidak murah.
Namun, kemudian di awal cerita, sang roker tenar tadi merasa galau dan seolah tak berselera lagi memainkan lagu-lagunya di tengah ingar-bingar para penggemarnya. Joe pun meminta izin untuk break sejenak dan mencoba kembali ke kampung halamannya.
Walau terlihat seperti masih trauma, belakangan baru diketahui Joe memang pernah diusir dari tanah kelahirannya itu. Joe memilih kembali setelah sang mamang, sebutan paman dalam bahasa Sunda, Ujang (Iang Darmawan), datang berkunjung ke rumahnya di kota untuk merayu Joe agar mau pulang kampung.
Konflik dan luka lama seolah masih kembali muncul ketika Joe, yang digambarkan selintas kabur meninggalkan kampung halamannya tadi saat masih usia belasan tahun, menginjakkan kembali kakinya di Kasepuhan Sinar Resmi.
Konflik dan ketegangan juga diwarnai unsur politik, perebutan kekuasaan posisi kepala kampung, yang masih dibumbui lagi dengan isu krisis energi, sulitnya mencari minyak tanah kebutuhan sehari-hari warga kampung.
Dalam konflik ini, Joe yang ternyata putra mendiang kepala kampung terdahulu harus menghadapi pesaingnya, Koswara (Budi Dalton), yang juga putra salah seorang sesepuh kampung, Ki Sukarna (Otig Pakis).
Koswara mencoba menghasut warga agar kembali membenci dan mengusir Joe. Dalam melancarkan aksinya itu, Koswara dibantu dua pengikut setianya yang lucu sekaligus konyol, Ubed (Ruly Cikapundung) dan Uceng (David Saragih).
Kisah cinta lama
Persoalan lain juga muncul, terutama dibumbui kisah cinta yang belum kelar antara Joe dan seorang perempuan bernama Andini (Maryam Supraba), yang sayangnya hingga akhir cerita tak kunjung terang benderang statusnya dan hanya diketahui sebagai ibu dari Gani, remaja kasep (ganteng) ahli bermain alat musik gesek tradisional, terawangsa.
Andini digambarkan selalu bersikap ketus dan kasar kepada Joe, sementara kebalikannya, Gani (Bisma Karisma), yang fasih berbahasa Sunda halus, sangat mengidolakan sang roker. Gani sendiri memang ingin meniru jejak idolanya walau harus berhadapan dengan ibunya sendiri, yang menolak mentah-mentah lantaran khawatir anaknya terkena sanksi adat.
Sementara itu, upaya sang sutradara mengangkat budaya Sunda memang terasa sangat kental di film ini. Salah satunya dengan menggunakan dialog berbahasa Sunda di hampir sebagian besar adegan film, tentunya dengan tambahan teks (subtitle) bahasa Indonesia bagi para penonton yang tak paham bahasa tradisional itu.
Sayang, walau terdengar berupaya keras ”menyundakan” diri, dalam beberapa adegan akting, sang pemeran tokoh utama terasa kurang ”tek-tok”. Terutama saat Joe berdialog dengan sesepuh karuhunan, Abah Rahman (Shanjaya), yang kerap memakai bahasa Sunda halus, sementara Joe sendiri lebih memilih berbahasa Indonesia.
Tidak dijelaskan apakah Joe memang sudah terlalu lama meninggalkan kampung halamannya sampai-sampai melupakan bahasa ibunya sendiri atau bagaimana. Akan tetapi, yang jelas, pemeran Gani justru jauh lebih mahir dan alami saat berdialog bahasa Sunda dalam sejumlah adegan.
Selain mencoba mengangkat bahasa Sunda, film ini juga memperkenalkan sejumlah alat musik tradisional Sunda selain terawangsa, seperti alat musik petik kecapi serta alat musik terbuat dari bambu, calempung dan karinding. Dua alat musik terakhir bahkan diyakini jauh lebih tua usianya ketimbang alat musik gamelan.
Kelebihan lain dari film ini juga terkait dengan lokasi pengambilan gambarnya, yang banyak memperlihatkan keasrian serta keindahan alam Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat, yang memang menjadi lokasi kampung adat Kasepuhan Sinar Resmi.