Korban Konflik Menanam Asa di Taman Baca
Suhu dingin menyengat telapak kaki saat melangkah di atas lantai lembab yang terbuat dari semen berbalut karpet plastik. Puluhan anak dan remaja korban konflik sosial bersila, jongkok, dan tengkurap melawan keterbatasan di atas karpet itu. Mereka belajar membaca, menulis, berhitung, dan juga bermain.
Sekadar menghalau dinginnya karpet, ada yang melapisi tubuhnya dengan kain sarung dan jaket. Hujan yang mengguyur Kota Ambon, Maluku, selama beberapa jam pada Rabu (11/7/2018) malam itu membuat air merembes melalui atap, fondasi, dan dinding ke dalam bangunan darurat berukuran 6 meter x 4 meter itu. Begitulah suasana di Taman Baca Kapela.
Taman baca itu berada di pinggiran Kota Ambon tepatnya di lokasi pengungsian di kawasan Air Besar. Para anak dan remaja tak lain adalah pengungsi yang lari bersama orangtua meninggalkan kampung halaman akibat konflik sosial antarwarga di Desa Pelauw, Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, tahun 2012. Pulau Haruku terpaut lebih kurang 4,5 kilometer dari Pulau Ambon.
Pendidikan formal di sekolah dianggap tidak cukup mengakomodasi kebutuhan anak korban konflik. Begitu pula keluarga dan lingkungan. Keluarga masih mencari sumber penghidupan di tanah yang baru. Banyak yang bekerja serabutan demi membangun ekonomi keluarga yang bahkan mulai dari minus. Sebab, mereka telah meninggalkan rumah, kebun pala, dan cengkeh di tanah kelahiran.
Dalam situasi ini, kebahagiaan batin anak belum terjawab. Bayangan trauma pun masih melekat. ”Anak-anak kami belum mendapat pendampingan seperti halnya anak-anak korban konflik. Dulu, di rumah banyak yang tidak belajar dan keluyuran malam hari,” ujar Erni Talaohu, salah satu orangtua. Di lokasi pengungsian bermukim 1.171 jiwa.
Atas inisiatif para orangtua, pada 2016, warga lalu menyulap sebuah rumah warga untuk dijadikan tempat berkumpul bagi anak-anak. Secara sukarela, warga menyumbang uang sekaligus gotong royong mengerjakan lantai semen dan mengecat dinding bangunan yang terbuat dari batako tanpa diplester itu.
Mereka lalu memberi nama tempat itu Kapela yang dalam bahasa Pelauw berarti tempat bertemu. Di bawah atap yang sering bocor kala hujan deras itu, para orangtua menanam asa untuk masa depan anak mereka. Lewat bermain, mendengar motivasi dari para inspirator, dan bertemu relawan, anak korban diharapkan segera bangkit dan membangun optimisme dalam diri.
Tak lama kemudian, muncul ide untuk menjadikan tempat itu sebagai taman baca yang kini diisi lebih dari 60 anak dan remaja mulai dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas.
Kini, di sudut ruangan itu berdiri sebuah rak kayu yang menopang lebih dari 100 eksemplar buku berisi cerita rakyat, sejarah nasional, novel, beragam literatur Islam, serta buku mata pelajaran dasar. Semua buku itu adalah sumbangan dari donatur serta keluarga mereka di perantauan.
Di dinding, berjejer poster angka, huruf, gambar binatang, pahlawan nasional, dan foto Presiden Joko Widodo serta Wakil Presiden Jusuf Kalla. Juga ada majalah dinding untuk memajang puisi karya mereka sendiri. Puisi itu dibuat setelah mereka diajar penulis lokal yang secara sukarela datang ke sana.
”Kompas” ikut mengajar
Jam belajar dimulai sekitar pukul 19.00 hingga 21.00 waktu setempat. Pembimbing tetap sebanyak 15 pemuda yang rata-rata lulusan perguruan tinggi. Sebagian pembimbing sudah bekerja dan yang lainnya masih menganggur. Sesekali, ruang belajar diisi relawan yang ingin berbagi pengetahuan dan pengalaman. Sastrawan dan juga provokator damai Maluku, Rudi Fofid, pernah mengajarkan materi puisi.
Kompas diminta mengisi materi matematika sesuai latar belakang pendidikan Kompas. Selama dua jam pada Rabu (11/7/2018) malam itu, Kompas mengenalkan sejumlah cara praktis serta permainan matematika yang menghibur. Mereka tercengang hingga tertawa lepas saat Kompas dapat menebak angka yang mereka pikirkan. Mereka meminta Kompas datang lagi. Tak hanya mengajar matematika, tetapi juga membagi pengalaman jurnalistik dan menulis.
”Kami terbuka dengan orang yang datang untuk membangun optimisme generasi di sini. Kami tidak mau mereka terus tenggelam dalam bayangan konflik yang penuh duka dan air mata. Kami ingin mereka sukses lewat pena dan buku. Masa depan mereka masih panjang,” kata Made Ali Salampessy, salah satu pengurus taman baca.
Selain di dalam ruangan, pada setiap akhir pekan, mereka diajak belajar di alam bebas. Kebetulan di dekat tempat tinggal mereka ada area perbukitan. Di sana mereka dapat memandang sebagian wilayah Kota Ambon dari ketinggian. Kegiatannya berupa berkemah, melatih berbicara di depan umum, hingga menonton film bersama.
Hasilnya kini mulai dari terasa. Mereka yang pemalu dan tak percaya diri sudah berani berbicara dan bertanya. Bahkan ada yang berprestasi di sekolah, seperti Amina Taulepe (9) menjadi juara kelas saat pembagian rapor kenaikan kelas dari kelas II ke III di Sekolah Dasar Negeri 39 Ambon. Amina yang ketika konflik masih berusia tiga tahun itu kini berbicara tanpa ragu dan gugup. Saat Kompas menyodorkan sebuah teks, ia membacanya dengan lancar. ”Beta (saya) ingin jadi dokter,” begitu mimpi Amina.
Menyapa Presiden
Berkat konsistensi para orangtua dan warga menjaga rumah baca itu, pada tahun ini, Rumah Baca Kapela dinominasikan menjadi salah satu peserta Gramedia Reading Community Competition 2018 yang diselenggarakan Toko Buku Gramedia. ”Salah satu aspek yang dinilai adalah keterlibatan masyarakat, terutama orangtua untuk mendukung kelangsungan taman baca,” kata Muhammad Guntur, Kepala Toko Buku Gramedia Ambon.
Rumah Baca Kapela yang dihidupkan para orangtua anak korban konflik itu masih minim fasilitas lantaran kurangnya dukungan dari pemerintah. Gubernur Maluku Said Assagaff, Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy, dan Bupati Maluku Tengah Abua Tuasikal bukan tak tahu masalah itu.
Apakah mereka tutup mata? ”Entahlah,” ujar Ramlane Latupono, pembimbing di Taman Baca Kapela. Dalam sejumlah kesempatan, ketiga pejabat yang terkait dalam penanganan masalah pengungsi itu selalu mengutarakan niat baik mereka yang hingga kini belum menjadi kenyataan.
Pada saat kunjungan Presiden Joko Widodo ke Ambon untuk menghadiri Hari Pers Nasional pada Februari 2017, Ramlane, Amina, dan beberapa anak sempat berdiri menyapa Presiden yang melintas dengan mobil. Mereka berharap mendapatkan buku yang biasanya dibagikan Presiden setiap kali berkunjung ke daerah. Sayangnya, mobil Presiden terus berlalu.
[video width="640" height="352" mp4="https://kompas.id/wp-content/uploads/2018/07/WhatsApp-Video-2018-07-14-at-08.24.50.mp4"][/video]