JAKARTA, KOMPAS— Institut Kesenian Jakarta berusaha menerapkan pembelajaran urban dalam kurikulumnya. Dalam prinsip ini, pendidikan seni mengekspresikan estetika dan harus bersifat mencerahkan.
Rektor Institut Kesenian Jakarta Seno Gumira Ajidarma mengutarakan hal itu dalam Dies Natalis Ke-48 IKJ bertema ”Menuju Tahun Emas 2020”, Kamis (12/7/2108), di Jakarta. ”Pertanyaan yang harus diajukan kini bukan lagi apakah seniman perlu menempuh pendidikan tinggi untuk berkarya, tetapi mampukah perguruan tinggi melahirkan seniman profesional,” ujarnya.
Pada kehidupan urban, industri jadi budaya di segala aspek. Di dunia seni, seniman harus berhadapan berbagai persyaratan politik, ekonomi, sosial, dan agama. ”Seniman harus bisa menangkap situasi itu, bernegosiasi dengan syarat yang ada sekaligus menghasilkan karya. Jadi, seniman perlu memiliki kapasitas intelektual. Seni tak sekadar hiburan, tetapi mencerahkan akal pikiran masyarakat," ungkapnya.
Seniman harus bisa menangkap situasi itu, bernegosiasi dengan syarat yang ada sekaligus menghasilkan karya.
Refleksi sosial
Menurut psikolog sosial dari Pusat Kajian Representasi Sosial Indonesia Risa Permanadeli, dalam pidato ilmiahnya, seni bukan ekspresi personal berdasarkan kewahyuan dan ilham. ”Seni adalah tindakan sosial bersifat historis, bukan anomali tercipta begitu saja,” ucapnya.
Seni terkait pengalaman masa silam dialami seniman itu bersama pengalaman kolektif masyarakat setempat. Jadi, seni merupakan jendela mempelajari masa lalu, merefleksikan masa kini, dan menyiapkan masa depan.
Ia mencontohkan, kesenian di Eropa berbanding lurus dengan perkembangan pemikiran masyarakat setempat. Seni di kawasan itu bisa dilacak ke tiap generasi dan era karena seni bermuara pada aktivitas warga. Karya seni terintegrasi dengan budaya sehari-hari. ”Perguruan tinggi, termasuk bidang seni, jadi laboratorium kehidupan yang melahirkan gagasan,” kata Risa.
Perguruan tinggi, termasuk bidang seni, jadi laboratorium kehidupan yang melahirkan gagasan.
Namun, dunia pendidikan di Indonesia tak sepenuhnya mempelajari keseharian masyarakat. Perkuliahan membahas konsep abstrak, sedikit mempelajari diri sendiri dan merenungkannya.
Kebiasaan itu muncul karena warga Indonesia kurang mengenal sejarah bangsa. Pendidikan tinggi sibuk membahas gagasan posmodernisme, padahal masyarakat Indonesia belum mencapai tahap modernisme.
Modernisasi di Indonesia bukan lewat pemikiran dan evolusi kebudayaan berkelanjutan seperti di negara maju. Modernisasi di Tanah Air terjadi karena warga mengonsumsi aneka produk negara maju. Jadi, warga memakai benda modern, tetapi tak menangkap etika pemakaiannya.
”Berkesenian berarti memikirkan masyarakat. Jika pendidikan seni ingin menciptakan seniman mumpuni, ia harus menyerap, mencerna, dan merekonstruksi keseharian warga Nusantara dalam karyanya,” ucapnya.
Ketua Yayasan Seni Budaya Jakarta Slamet Rahardjo Djarot berpesan agar IKJ menciptakan karya seni dan berkomitmen pada capaian akademik.