JAKARTA, KOMPAS — Komisi Perlindungan Anak Indonesia dorong kemendikbud kaji ulang sistem zonasi pada penerimaan peserta didik baru, SMP dan SMA negeri. Sistem zonasi rawan sebabkan pelanggaran terhadap hak anak untuk sekolah serta kecurangan lain.
Komisioner Bidang Pendidikan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, mengatakan kemendikbud perlu mengevaluasi sistem zonasi pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) karena banyaknya aduan yang datang dari masyarakat.
“Sosialisasi dari kemendikbud ke dinas pendidikan hingga masyarakat masih minim, sehingga banyak timbul masalah di lapangan,” kata Retno, dalam konferensi pers di kantor KPAI, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (11/7/2018).
Menurut Retno, sistem zonasi hendaknya diterapkan saat fasiliitas pendidikan di semua daerah sudah memadai dan berstandar nasional. “Sebaiknya diterapkan secara bertahap pada daerah yang siap dengan jumlah sekolah negeri yang mencukupi di setiap kecamatan atau kabupaten, selanjutnya dievaluasi, dan baru ke daerah lain,” ucap Retno.
Salah satu permasalahan sistem zonasi adalah tidak seimbangnya jumlah sekolah negeri dengan jumlah calon peserta didik baru pada suatu wilayah. Hal ini menyebabkan banyak anak kehilangan haknya untuk sekolah di sekolah negeri, karena harus berkompetisi di sekolah negeri daerah lain dengan kuota daya tampung lima persen.
“Contohnya yang terjadi di desa Bojongkulur, desa terpadat di Kabupaten Bogor, di desa ini tidak terdapat SMP atau SMA negeri, jadi anak-anaknya daftar sekolah di daerah lain, dengan daya tampung hanya lima persen,” kata Retno.
Anggota KPAI, Ai Maryati Solihah, mengatakan pemerintah perlu memetakan jumlah sekolah negeri di setiap daerah, sehingga kesiapan daerah untuk menerapkan sistem zonasi pada PPDB dapat terlihat, dan terjadi keseimbangan. “Banyaknya persoalan PPDB jangan menjadikan pendidikan anak terabaikan, ini adalah hak dasar yang mesti dipenuhi,” ujar Ai.
Seleksi PPDB dengan sistem zonasi didasarkan pada jarak antara alamat rumah pada kartu keluarga (KK) dengan sekolah. Kemungkinan siswa diterima di sekolah negeri semakin tinggi apabila jarak antara rumah dengan sekolah semakin dekat dengan radius yang ditentukan masing-masing daerah.
“Di Bogor, kebijakannya diatur dalam beberapa zona, jarak antar zona diatur dinas pendidikan setempat, zona satu atau paling dekat diberi skor 20 dan seterusnya hingga luar kota diberi skor nol, skor ini ditambahkan pada nilai ujian nasional dan digunakan pada proses seleksi,” kata Retno. Dengan adanya sistem penilaian tersebut dapat terjadi siswa dengan nilai UN tinggi kalah dengan yang bernilai lebih rendah karena jarak rumah yang jauh.
Rawan kecurangan
Jasra Putra, anggota KPAI, mengatakan peraturan sistem zonasi rawan menyebabkan kecurangan pada saat PPDB. “Ada dugaan terdapat mafia penerimaan siswa baru di Tangerang Selatan yang meminta uang Rp 6 juta hingga Rp 12 juta untuk memasukkan siswa ke sekolah,” kata Jasra. Jasra menambahkan hal tersebut mencederai tujuan pendidikan dan hendaknya pelaku diberi sanksi tegas.
Berbagai daerah memiliki aturan yang berbeda-beda pada sistem zonasi. Ketentuan penerimaan siswa tidak mampu dengan kuota paling sedikit 20 persen memberi peluang terjadinya kecurangan. Hal ini seperti yang terjadi di Jawa Tengah, orangtua murid membuat Surat Keterangan Tidak Mampu palsu agar anaknya dapat masuk sekolah negeri.
KPAI mengapresiasi hal yang dilakukan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, yang memerintahkan pihak sekolah untuk memverifikasi kondisi ekonomi siswa yang mendaftar menggunakan jalur SKTM. Hasil dari verifikasi tersebut ditemukan SKTM palsu sebanyak 78.065 buah.
Menanggapi hal tersebut, Retno mengatakan KPAI meminta siswa dengan SKTM palsu tidak dimasukkan daftar hitam, cukup dibatalkan proses pendaftarannya dan diberi kesempatan untuk mendaftar pada jalur umum. “Anak jangan diberi sanksi, mereka hanya mengikuti arahan orangtua, hak untuk mendapat pendidikan harus tetap ada,” ujar Retno.
Aturan Sistem zonasi PPDB tertuang dalam Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018. Dalam aturan tersebut tertulis sekolah negeri jenjang SMP atau SMA wajib menerima siswa baru yang berdomisili pada jarak paling dekat dengan sekolah paling sedikit 90 persen dari total kuota daya tampung, jalur prestasi luar zona paling banyak 5 persen, dan siswa tidak mampu paling sedikit 20 persen dari total kuota daya tampung.