JAKARTA, KOMPAS — Selama satu bulan terakhir ini, terjadi lima kasus kriminal di jalan tol di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa jalan tol belum aman. Masyarakat pengguna tol yang dirugikan berhak melakukan gugatan.
Kasus terbaru terjadi pada Senin, 9 Juli 2018. Dalam peristiwa itu, seorang sopir truk bernama Marthen Lay Raga (38) tewas terkena peluru nyasar saat melintas di Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta (JORR), Kilometer 184, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kasus ini sedang dalam tahap penyelidikan Polres Metro Jakarta Selatan.
Data yang dihimpun dari Pusat Informasi Kompas, pada Selasa, 5 Juni 2018, terjadi pelemparan batu di Tol Cikampek Kilometer 6, Kelurahan Jati Cempaka, Kecamatan Pondok Gede, Kota Bekasi, yang mengakibatkan seorang pengemudi tewas.
Pelemparan batu juga terjadi di Tol Jagorawi Kilometer 14, arah Jakarta pada Senin, 11 Juni 2018, dan Selasa, 12 Juni 2018, di Kilometer 11. Kedua kejadian tersebut mengakibatkan kerusakan kaca depan pada tiga mobil yang sedang melintas di bawah jembatan penyeberangan. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian ini.
Pada Rabu, 13 Juni 2018, terjadi lagi pelemparan batu dari jembatan penyeberangan orang di Tol Jagorawi Km 11, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur. Kaca mobil bagian depan retak terkena lemparan batu.
Menurut Sudaryatmo, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Kamis (12/7/2018), pengelola jalan tol perlu memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat yang melintasi jalan tol. Oleh karena itu, pengelola jalan tol harus menyiapkan fasilitas-fasiltas pendukung dalam mencegah tindakan kriminal yang sering terjadi.
”Perusahaan-perusahaan pengelola jalan tol seperti PT Jasa Marga dan lainnya tunduk pada undang-undang perlindungan konsumen. Oleh karena itu, perusahaan berkewajiban memberikan perlindungan kepada konsumen,” ujarnya.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menekankan pentingnya upaya menjamin adanya kepastian hukum serta memberikan perlindungan kepada konsumen.
Sudaryatmo mengatakan, beberapa tindakan kriminal yang terjadi di jalan tol wilayah Jabodetabek menunjukkan bahwa keamanan dan keselamatan masyarakat saat melintas jalan tol belum terlindungi dengan baik.
Meningkatkan pengawasan
Kepala Badan Pengatur Jalan Tol Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Herry Trisaputra Zuna mengatakan, untuk mencegah kejadian serupa, pihaknya melakukan koordinasi dengan kepolisian.
”Kami sudah berkoordinasi dengan polisi untuk meningkatkan keamanan di tempat-tempat yang rawan itu ditingkatkan,” ucapnya.
Herry mengakui infrastruktur keamanan di jalan tol belum memadai sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Namun, ia mengatakan, pihaknya terus berupaya agar ke depan di tempat-tempat yang rawan dibangun tembok pembatas, pemasangan jaring, dan kamera CCTV.
”Ada rencana pemasangan CCTV, jaring, dan tembok di lokasi rawan kriminal,” ucap Herry.
Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Tahun 2005 tentang Jalan Tol disebutkan bahwa secara teknis setiap ruas jalan tol harus dilakukan pemagaran. Selain itu, juga harus dilengkapi jembatan dan terowongan penyeberangan dan sarana komunikasi serta sarana deteksi pengaman jika terjadi peristiwa darurat kecelakaan ataupun kriminal.
Bisa digugat
Guru Besar Hukum Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro Joko Priyono menegaskan, masyarakat yang dirugikan pelayanan fasilitas publik yang dikelola BUMN berhak untuk menggugat.
Joko menjelaskan, jika pengguna jalan tol merasa dirugikan, mereka dapat meminta pertanggungjawaban pengelola tol. ”Pertanggungjawaban itu bisa dalam bentuk ganti rugi, berupa pengembalian uang, penggantian barang, dan atau jasa, perawatan kesehatan, serta pemberian santunan,” katanya.
Namun, menurut Joko, pertanggungjawaban itu dapat dilakukan jika ada unsur kelalaian atau kesalahan dari pihak pengelola jalan tol. ”Kasus yang lagi marak itu perlu diselidiki oleh polisi,” ucapnya. (STEFANUS ATO/FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY)