BANDUNG, KOMPAS – Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jawa Barat menduga sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru 2018 rawan malaadministrasi. Pengawasan ketat sangat diperlukan guna menghindari pelanggaran, baik dari pihak penyelenggara maupun masyarakat.
Kepala Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Jawa Barat Haneda Sri Lastoto di Bandung, Rabu (11/7/2018), mengatakan pihaknya menerima 60 laporan dari masyarakat terkait Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Ia menduga, oknum-oknum masih menggunakan celah sistem yang ada untuk menguntungkan diri sendiri.
Haneda memaparkan, dugaan maladministrasi yang terjadi di antaranya penggunaan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) tidak tepat sasaran, penggunaan data palsu, dan jual beli kursi.
Untuk dugaan pelanggaraan SKTM, Haneda mencontohkan, datang dari Kota dan Kabupaten Bogor, Kota Bekasi, Kota Depok dan Kota Cirebon. Sedangkan dugaan pemalsuan data dan praktek jual beli kursi berasal dari Kota Bandung.
Haneda menduga, penggunaan data palsu ini erat kaitannya dengan praktek jual beli kursi. Data palsu ini terlihat dari Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang tidak wajar, seperti angka 1111111. Nantinya, angka palsu ini menjadi kursi kosong, dan berpotensi untuk diperjualbelikan.
“Angka ini tentu tidak wajar, dan pelapor menemukan NIK seperti ini sebanyak 50 nama. Berarti, ada yang memalsukan data untuk memenuhi kuota. Ini yang ingin kami kejar, kami ingin tahu siapa pelakunya,” tuturnya.
Menurut Haneda, oknum yang bisa mengakses sistem zonasi inilah yang berpotensi melakukan pelanggaran. Ia berujar, ada oknum yang berasal dari pihak pemerintah melalui dinas pendidikan, atau pihak sekolah.
“Akan tetapi, kami tidak bisa mengejar sampai kesana. Berdasarkan peraturan, Kami hanya bisa memberikan evaluasi kepada instansi terkait. Jadi, kami berharap, pemerintah bisa menemukan siapa orangnya dan memberikan sanksi yang berat,” ujarnya.
Haneda berujar, pengawasan dari berbagai pihak menjadi kunci dalam pelaksanaan sistem yang bebas dari pelanggaran. Pimpinan yang bersih dan independen, serta tegas dalam mengawasi sistem sangat diperlukan. Sosialisasi dari warga juga perlu dilakukan agar sistem bisa berjalan dengan baik, karena bagus tidaknya sistem bergantung dari pemahaman pengguna dan penyelenggaranya.
Mira Rosmiati (37), warga Babakan Tarogong, Bojongloa Kaler, Kota Bandung, kecewa dengan sistem PPDB tahun ini yang dinilai tidak adil. Ia bercerita, anaknya tidak terdaftar di SMPN 33 Bandung. Padahal, jika ditarik garis lurus, jarak antara rumahnya dengan sekolah kurang dari 500 meter.
“Yang anehnya, anak teman saya diterima. Padahal, rumahnya lebih jauh. Anak saya stres. Ia merasa usaha selama ini belajar untuk mendapatkan sekolah negeri sia-sia,” ujarnya.
Hermawan (48), juga merasakan hal yang sama. Warga Cibeunying Kidul, Cicadas ini, berharap pemerintah tidak menghapuskan sistem sekolah favorit atau unggulan agar anak-anak berlomba untuk mendapatkan yang terbaik.
“Anak saya juga tidak bisa masuk SMP negeri. Padahal, ia mendapatkan peringkat yang bagus dengan nilai rata-rata hampir Sembilan. Anak saya seperti patah semangat, sering bersedih. Usahanya untuk menjadi yang terbaik tidak dihargai,” katanya.(RTG)