Peluang Dagang di Ujung ”Perang”
Indonesia punya peluang besar jadi pemain besar bidang mebel dan furnitur dunia. Banyak faktor pendukung yang bisa jadi amunisinya. Mulai dari keunggulan komparatif semacam bahan baku kayu dan rotan yang sangat melimpah, jumlah tenaga kerja yang besar nan cakap, desainer muda yang kreatif, lokal konten tinggi, hingga ekosistem kluster besar yang sudah terbentuk. Terkini, perang dagang Amerika Serikat-China ikut membuka peluang itu.
Aktivitas kerja di PT Sasana Antik di Desa Krikilan, Kecamatan Sumber, Rembang, Jawa Tengah, tengah bergairah. Permintaan ekspor mebel luar ruangan, seperti kursi dan meja taman, meningkat. Selain Amerika Serikat, pasarnya datang dari Eropa, Jepang, hingga Korea Selatan.
”Akhir Juli ini, saya akan pameran di Korea Selatan bersama perajin asal Klaten,” ujar Direktur PT Sasana Antik Arifin, Rabu (11/7/2018).
Arifin mengatakan, prospek ekspor kini jauh lebih menjanjikan ketimbang lokal. Kelesuan pasar lokal usai Lebaran dan di saat musim pendaftaran anak sekolah tidak terjadi di luar negeri. Dengan fokus membidik pasar ekspor, Arifin mengatakan, mampu mempertahankan roda produksi bersama 250 tenaga kerjanya.
Untuk memenuhi keinginan ekspor, sejumlah riset pun dilakukan. Bahan kayunya dipilih kayu jati. Tak semua negara pengekspor mebel punya bahan kayu jati melimpah seperti Indonesia.
”Kami juga memenuhi permintaan aksesori mebel di dalam ruangan, seperti papan dinding ataupun papan lantai. Dalam sepekan, kami bisa mengirim 8-10 kontainer mebel berbagai ukuran untuk pasar luar negeri,” kata Arifin.
PT President Furniture Jepara juga berkreasi. Direktur PT President Furniture Jepara Ponco Suhirno mengatakan, pihaknya tengah memproduksi mebel terbaik berbahan baku kayu karet. Selain teksturnya unik, harga kayu karet melimpah dan terjangkau. Harga kayu karet mentahan gelondongan sekitar Rp 800.000 per kubik. Adapun kayu karet yang sudah matang berbentuk papan mencapai Rp 1,9 juta per kubik. Harga itu lebih murah ketimbang jati.
”Kayu karet yang dikombinasi kayu olahan dari bahan jati ternyata menarik pembeli baru ataupun pelanggan lama. Saat ini, PT President Furniture Jepara mengekspor furnitur minimal 3-6 kontainer per minggu,” katanya.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jateng Arif Sambodo mengatakan, bisnis mebel jadi anomali di antara lesunya dunia usaha saat ini. Geliatnya cenderung stabil. Data Disperindag Jateng mencatat, jumlah industri mebel pada 2017 terdiri dari 6.183 usaha skala kecil, 811 industri skala menengah, dan 211 usaha skala besar.
Peningkatan pasar ekspor juga diindikasikan dari terus bertambahnya jumlah industri mebel yang mengantongi sertifikat Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK). Pada 2016, industri yang mengantongi SVLK sebanyak 198 usaha, kemudian meningkat menjadi 517 industri pada 2017, dan hingga pertengahan 2018 menjadi 725 usaha terdiri dari usaha kayu olahan ataupun pengusaha furnitur.
Masa depannya juga berpotensi cerah. Pada 2016, ekspor mebel dari Jateng tercatat 1,3 miliar dollar AS dan pada 2017 naik menjadi 1,5 milliar dolar AS.
Peluang
Geliat di Jateng itu jadi potret ketangguhan produk mebel Indonesia di mata dunia. Di tengah lesunya ekonomi nasional, banyak keunggulan komparatif yang bisa dimanfaatkan, mulai dari ketersediaan bahan baku kayu dan rotan, tenaga kerja melimpah dan cakap, banyak desainer muda nan kreatif, lokal konten tinggi, hingga terbangun dalam kluster yang besar.
Namun, dari data yang dimiliki Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), negeri ini punya pekerjaan rumah yang besar. Dari 20 negara eksportir produk mebel dunia, Indonesia hanya berada di peringkat ke-17. Nilai ekspor mebel nasional pada 2015 hanya 1,93 miliar dollar AS. Angka ini pun melorot menjadi 1,6 miliar dollar AS pada 2016 dan diperkirakan anjlok menjadi 1,3 miliar dollar AS pada 2017.
Nilai ekspor itu kalah jauh ketimbang Vietnam yang membukukan nilai ekspor hingga 6,9 miliar dollar AS atau Malaysia dengan nilai ekspor mencapai 2,4 miliar dollar AS pada 2015. Kondisi ini seharusnya tidak terjadi di Indonesia jika sumber daya alam melimpah dikelola dengan baik dan 21.000 tenaga kerja di sektor mebel dan furnitur terus termotivasi berkarya.
Faktor eksternal berupa perang dagang antara AS dan China ikut memengaruhinya. Hal itu memicu perang tarif bea masuk barang yang masuk ke kedua negara itu. Akibat hal ini, produk mebel China yang masuk ke AS nantinya berpotensi bakal dikenai tambahan biaya tarif bea masuk sebesar 25 persen. Kondisi itu berbeda dengan mebel Indonesia yang bisa masuk dengan tarif nol persen sehingga harga jualnya lebih murah jika tidak ada berbagai persoalan yang membelenggu kaki produsen mebel lokal.
Menguatnya dollar AS terhadap rupiah juga jadi peluang produsen dan pengusaha berorientasi ekspor diyakini bakal menikmati untung dari selisih nilai tukar. Margin keuntungan itu didapat dari pembelian bahan baku, ongkos tenaga kerja dan desain, serta pengemasan dalam mata uang rupiah.
Potensi itu rentan tak bisa didapatkan bila dollar AS justru melemah atau minimal stabil Rp 10.000 per dollar AS. Indonesia berpotensi mengalami tekanan hebat. Alasannya, negara pesaing, khususnya Vietnam, yang selama ini menjadi negara produsen barang jadi untuk menumbuhkan ekspor China ke pasar dunia, bakal mendapat keuntungan lebih besar karena selisih harga menggiurkan.
Penasihat HIMKI, Johanes Sumarno, mengatakan, secara teori, banyak peluang yang bisa dimanfaatkan Indonesia. Pemerintah juga diuntungkan karena industri mebel adalah padat karya dengan kandungan impor yang kecil. Namun, ia mencatat, pemerintah harus aktif mendorong dan memberi perhatian pada sektor ini agar terus menggeliat.
Bandingkan dengan industri primadona ekspor lainnya, yang belanja dengan dollar AS tetapi hanya meraup penghasilan dalam bentuk rupiah. Salah satu contohnya adalah sektor industri otomotif dan industri elektronika yang produksinya ditopang banyak komponen dan bahan baku impor.
”Menariknya, sektor-sektor itu justru dibantu insentif pemerintah. Mereka dinilai lebih banyak memberikan penghasilan dari pajak. Mebel belum merasakan fasilitas itu sehingga cenderung dibuat mati suri,” kata Johanes, yang juga Direktur Utama PT Kurnia Anggun, pelaku industri mebel yang produknya diekspor ke pasar dunia.
Di Vietnam, industri mebelnya didukung negara. Tak heran bila mereka bisa ekspor empat sampai lima kali lipat dari Indonesia. Ironisnya, hal itu dilakukan negara miskin bahan baku, tenaga kerja terampil dan baru 12 tahun terakhir jadi pemain penting di mebel dunia, atau 38 tahun lebih muda ketimbang Indonesia.
Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah HIMKI Jawa Timur Peter A Tjoei menyakini perang dagang akan menjadi tantangan menarik bagi Indonesia. Namun, saat tak cerdas menyikapinya, besar kemungkinan kinerja ekspor mebel dan kerajinan akan semakin melorot akibat penurunan daya saing hingga kehilangan calon pembeli dan pesanan di depan mata.
Perbaikan
Sekretaris Jenderal HIMKI Abdul Sobur mengatakan, solusi yang harus dilakukan adalah menjaga potensi keunggulan komparatif sekaligus menata niaga mebel. Kebijakan SVLKI, mandatori penggunaan dokumen V legal, hingga larangan terbatas bagi impor bahan baku di Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Industri Kecil Menengah (KITE IKM), harus segera mendapat perhatian penting.
Tujuannya, agar nama Indonesia kembali menggeliat di pasar mebel dunia.
Selain itu, penggunaan teknologi juga harus didorong. Tujuannya mendapat produk berkualitas berbiaya ringan tetapi efektif meningkatkan laba. Dia mencontohkan geliat salah satu perusahaan rotan berbasis teknologi di Italia yang mampu menghasilkan 10 juta dollar AS per tahun dengan tenaga kerja hanya 60 orang. Di Indonesia, tanpa teknologi, butuh 2.000 orang untuk mencapai hasil sebesar itu.
Sobur berharap, semua polemik ini harus segera diselesaikan. Bila tanpa perbaikan, nilai ekspor mebel sebesar 3,2 miliar dollar AS di tahun 2019 tidak tercapai. Apalagi, tantangan di tahun 2019 relatif lebih berat karena bersamaan dengan pemilihan presiden.
”Selain membuat sekolah vokasi mebel, peran pemerintah harus ditingkatkan. Kreativitas pelaku usaha ditambah dengan perubahan pola pembelian tanpa perantara sejumlah ritel masih jadi kunci meningkatnya nilai ekspor mebel. Buktinya, sudah nyata. Nilai ekspor mebel tahun 2017 naik menjadi 1,67 miliar dollar AS. Prediksi akhir tahun ini bahkan mencapai 1,75 miliar dollar AS,” katanya.
Tak ada alasan mebel Indonesia terus terpuruk. Keunggulan komparatif nan melimpah harus dimanfaatkan. Kebijakan bersahabat perlu dibicarakan bersama. Di samping itu, kreativitas manusianya harus terus didorong agar karya mereka menggema di dunia.