MGR Satellite Technology and Service Planning Telkom Indonesia, Selamet Joelianto Mollijono
Tepat pada 42 tahun yang lalu, 9 Juli 1976, Indonesia meluncurkan satelit pertamanya, yaitu Satelit Palapa. Seiring dengan berlalunya waktu, Indonesia, baik pemerintah atau pun swasta, secara teratur mengirim satelit untuk menopang konektivitas komunikasi bangsa.
Pada tahun 2018 ini, akan ada dua satelit yang diluncurkan. Kedua satelit itu adalah satelit PSN VI milik PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) dan Satelit Telkom-4 yang kini disebut sebagai Satelit Merah Putih milik PT Telekomunikasi Indonesia.
Kebutuhan terhadap satelit dinilai akan terus bertambah mengingat Indonesia dan dunia telah memasuki era revolusi industri 4.0.
Berikut petikan wawancara dengan Ketua Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI) Hendra Gunawan di Jakarta, Senin (9/7/2018) terkait tren peran satelit ke depan dalam berbagai bidang.
Bisa dijelaskan seperti apa peran satelit saat ini dan bagaimana tren ke depannya?
Satelit di Indonesia sekarang masih digunakan untuk konektivitas saja. Ke depannya, satelit akan ‘bermain’ di sektor penyediaan data berbasis solusi. Data yang ditampilkan akan bersifat lebih presisi dari saat ini, sehingga bisa digunakan di berbagai bidang, seperti militer, kelautan, pertanian, dan kehutanan.
Misalnya, di bidang pertanian, satelit bisa digunakan untuk mengambil data lahan pertanian untuk mengetahui apakah tanaman telah dapat dipanen dan di bidang kehutanan, satelit dapat dipakai untuk mengetahui titik api jika terjadi kebakaran. Sedangkan di sektor perikanan, satelit bisa dimanfaatkan agar membantu nelayan mengetahui wilayah mana yang memiliki banyak ikan.
Menggunakan satelit sebagai alat penyediaan data telah disediakan oleh beberapa perusahaan lokal di Indonesia, tetapi masih menggunakan satelit observasi milik asing. Satelit yang dimiliki Indonesia, seperti milik Telkom, PSN, dan BRI masih merupakan satelit komunikasi.
Berapa besar kebutuhan satelit di Indonesia?
Masih ada gap antara kebutuhan dan ketersediaan. Kebutuhan untuk satelit di Indonesia mencapai 189 transponder. Satelit nasional hanya bisa melayani 66 transponder, sehingga harus menyewa 123 transponder asing.
Peluncuran Satelit Merah Putih dan PSN-VI pada tahun ini dapat mengurangi ketergantungan kepada satelit asing. Satelit Merah Putih, misalnya, memiliki 60 transponder. Tetapi, kita memang tetap harus menyewa kepada asing karena jumlah transponder masih belum mencukupi.
Apa keuntungan dan kerugian menggunakan satelit sendiri dibandingkan milik asing?
Keuntungannya, satelit milik Indonesia didesain khusus untuk Indonesia sehingga mempunyai kualitas dan informasi yang lebih baik.
Dari segi harga, tidak berbeda jauh dengan menyewa satelit milik asing. Rata-rata harga sewa sekitar 900.000 dollar AS untuk satu transponder per tahun. Kalau dihitung kisarannya bisa 700.000-1,2 juta dollar AS untuk satu transponder per tahun.
Seberapa signifikan satelit mendukung era revolusi industri 4.0?
Satelit itu hanya berperan sebagai enabler. Bisnis yang akan menerapkan internet of things (IoT) akan membutuhkan satelit untuk mendistribusikan kontennya. Industri membutuhkan satelit observasi yang dapat menyajikan data secara realtime. Indonesia masih belum memiliki satelit seperti itu, tetapi saya yakin industri sedang bergerak menuju ke sana.
Secara keseluruhan, jaringan optik yang dibangun pemerintah hanya dapat menjangkau kota besar. Tidak hanya di Indonesia bagian timur yang masih belum terkoneksi, wilayah barat juga masih ada yang belum terjangkau jaringan GSM. Kota kecil hanya bisa terjangkau oleh radio, kalau tidak, satelit yang akan jadi andalan.
Industri yang membutuhkan satelit saat ini adalah industri konten dan penyedia konektivitas. Kalau untuk penggunanya, banyak dari perusahaan transportasi, pertanian, dan militer.
Yang perlu diingat, satelit adalah alat komplementer ketika tidak ada jaringan masuk ke suatu wilayah. Jadi, kelemahan satelit adalah spektrum atau frekuensinya terbatas. Oleh karena itu, bandwidth satelit tidak bisa sekuat jaringan terestrial. Transfer data jaringan terestrial telah berada pada kapasitas terabyte per second, sedangkan satelit masih pada kapasitas gigabyte per second.
Apa saja hambatan dalam mengembangkan satelit Indonesia?
Hambatan yang dihadapi terkait valuasi bisnis. Kalau dibandingkan, balik modal bisnis selular jauh lebih menguntungkan daripada bisnis satelit. Balik modal bisnis selular bisa dalam waktu dua tahun, sedangkan satelit dalam kurun waktu 4-7 tahun. Investasi rata-rata sebuah satelit berkisar 200 juta-300 juta dollar AS, sedangkan tingkat keuntungan atau Internal Rate of Return/IRR 13-15 persen. Kalau IRR selular di atas 20 persen.