Konsep TOD, Integrasi Kantong Pedestrian hingga Berbasis Kampung
Oleh
Irene Sarwindaningrum
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konsep pengembangan kawasan berorientasi transit oriented development disingkat TOD untuk Jakarta belum jelas. Oleh karena itu, istilah TOD berulang kali hanya disematkan untuk pemasaran belaka.
Sekretaris Dinas Perhubungan DKI Jakarta Budi Setiawan mengatakan, konsep TOD berulang kali dibahas selama beberapa tahun terakhir sebagai konsep pengembangan kawasan yang dapat mengurangi kemacetan Jakarta. Namun, hingga sekarang belum ada model pengembangan yang bisa menjadi contoh.
Arah pengembangan pun belum jelas, apakah akan menggunakan penataan ruang yang artinya akan membuat dari kawasan yang sudah ada atau dengan pembangunan atau membangun kawasan baru.
”Kalau menggunakan penataan ruang, berarti diperlukan peraturan yang mungkin juga memaksa. Namun, kalau arahnya pembangunan, berarti memerlukan biaya sangat besar,” katanya saat membuka diskusi TOD dalam Kerangka Tata Ruang dan Perencanaan Kota yang digelar Dewan Transportasi Kota Jakarta di Jakarta, Senin (9/7/2018).
Menurut Budi, TOD yang menggunakan konsep kawasan hunian terintegrasi diharapkan dapat memperkecil perputaran kendaraan pribadi. Selama ini, berbagai kebijakan sudah dilakukan guna mengurangi kemacetan Jakarta, tetapi belum dapat menuntaskan.
Pengajar Teknik Arsitektur Universitas Tarumanagara, Danang Priatmojo, mengatakan, konsep ideal TOD adalah pengembangan dari kantong pedestrian. Artinya, menciptakan kawasan bebas kendaraan pribadi di kawasan yang sudah dilewati jalur transit.
Kawasan hunian terintegrasi dengan jalur transit itu memprioritaskan pejalan kaki dan transportasi umum massal. Namun, banyak pengembangan TOD sekarang terlihat tetap membiarkan kendaraan pribadi di dalam kawasan. ”Kalau mau setia pada konsep TOD, seharusnya mobil sudah tidak ada dalam dalam kawasan,” katanya.
Padahal, kata Danang, saat ini Jakarta sangat berpotensi untuk pengembangan kawasan TOD, baik dengan pembangunan di udara, darat, maupun bawah tanah. Jaringan pejalan kaki bisa dikembangkan dengan skywalk atau jalur jalan kaki melayang yang sudah dikembangkan di banyak negara lain. Jalur-jalur layang Koridor 13, misalnya, bisa digunakan sebagai titik awal untuk jaringan skywalk itu.
”Halte-halte di atas ini bisa dihubungkan langsung dengan gedung-gedung tinggi di sekitarnya dan terus berlanjut membentuk jaringan sehingga skywalk ini menyusuri jalanan, menembus gedung-gedung tinggi,” katanya dalam diskusi tersebut.
Sementara pembangunan TOD di bawah tanah pun dapat dimulai dengan adanya jalur MRT. Di banyak kota besar, stasiun bawah tanah sudah menjadi ruang kota yang menarik dan saling menghubungkan.
Wakil Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Harie Ganie mengatakan, saat ini masih banyak variasi konsep TOD yang beberapa di antaranya tak sesuai konsep ideal. Pengembang sendiri membutuhkan kepastian hukum dan aturan yang jelas sebelum berani mengembangkan konsep TOD ideal tersebut.
Beberapa kepastian yang dibutuhkan di antaranya dukungan kebijakan dari pemerintah, hukum yang jelas berdasarkan perencanaan kepastian RT/RW, KDB, KLB, tata guna lahan, hingga kepastian status lahan, misalnya untuk hak guna bangunan atau hak lainnya. ”Kalau tiba-tiba ada perubahan penggunaan kawasan, bisa sangat berdampak pada pengembang,” katanya.
Ia juga menyarankan ada badan khusus yang mengurusi pengembangan TOD, seperti badan perumahan di Singapura. Sebab, salah satu kendala pengembangan adalah penanganan yang masih sektoral di berbagai institusi dan lembaga yang berbeda. Akibatnya, koordinasi menjadi sulit dilakukan.
TOD berbasis kampung
Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja mengatakan, TOD seharusnya juga bisa dikembangkan sebagai TOD berbasis kampung atau kampung berbasis TOD. Dari 16 kampung di Jakarta, ia sudah melakukan pendataan di lima kampung yang sudah memenuhi syarat untuk pengembangan TOD.
Kampung-kampung ini di antaranya Kampung Bandan (1.400 jiwa per hektar), Kampung Marlina (2.753 jiwa per hektar), dan Kampung Kali Pasir Cikini yang jaraknya hanya 450-800 meter dari Stasiun Gondangdia, dekat dari halte bus pengumpan transjakarta dan diakses Kopaja. ”Paling tidak, berdasarkan populasi dan kepadatannya sudah memenuhi syarat,” katanya.
Menurut Elisa, kampung sangat cocok untuk pengembangan TOD karena selain biasanya padat penduduk, juga dekat dengan beragam sumber daya. Konsep pembangunan berbasis transit ini seharusnya dipakai juga sebagai kesempatan untuk memperbaiki infrastruktur dan kampung secara inklusif, lestari, dan berkeadilan ruang.
Guru Besar Arsitektur Universitas Indonesia Gunawan Tjahjono berpendapat, perlu ada pengembangan konsep TOD yang cocok untuk Jakarta. Hal ini sebab TOD ideal sulit terwujud di masyarakat Jakarta yang menurut penelitian salah satu masyarakat yang paling tidak suka jalan kaki di dunia.