Dua laga semifinal Piala Dunia Rusia 2018 menghadirkan fenomena unik: tampilnya dua tim yang pernah menjadi juara dunia, Perancis dan Inggris, serta dua kesebelasan yang belum pernah merebut trofi, Kroasia dan Belgia. Menarik lagi, terjadi pertemuan ”silang” antara Perancis, juara 1998, dan Belgia, serta kampiun 1966 Inggris melawan Kroasia.
Keempat tim berambisi juara dengan berjuta alasan. Kroasia? Mereka berhasrat mengulangi kesuksesan Piala Dunia Perancis 1998, saat lolos ke semifinal. Bintang dari generasi emas pertama Kroasia, seperti Robert Prosinečcki, Zvonimir Boban, dan Davor Suker, menyisihkan Jerman di perempat final dengan skor telak 3-0. Kroasia kandas di semifinal di tangan Perancis, tuan rumah yang lalu juara.
Dengan tiga gelandang tangguh, yaitu Ivan Perisic, Ivan Rakitic, dan Luka Modric, Kroasia bukan lawan ringan bagi Inggris. Seperti kata Perisic, bermain untuk tim nasional adalah mimpinya sejak kecil, dan kini terwujud. ”Saya pasti akan mempersembahkan yang terbaik,” ujarnya.
Inggris juga membawa misi yang belum terwujud selama 52 tahun: merebut trofi Piala Dunia setelah tim ”Tiga Singa” itu meraihnya di negaranya tahun 1966. Di tangan Pelatih Gareth Southgate, Inggris membunuh trauma kalah adu penalti, yang lama membelenggu. Southgate pernah gagal mengeksekusi penalti di Piala Eropa Inggris 1996, di hadapan pendukung Inggris di Stadion Wembley, London. Kegagalannya itu membuat ”Tiga Singa” kalah 5-6 dari Jerman di semifinal, dan dia pun dicerca habis-habisan oleh publik dan pers Inggris.
”Cambuk” 22 tahun lalu itu membuat Southgate berjibaku memoles pemain asuhannya sehingga memenangi adu penalti melawan Kolombia di babak 16 besar. The Guardian menulis, tanpa bintang sekelas Bobby Charlton dan Paul Gascoigne, plus keuntungan bermain di kandang sendiri, Southgate membuktikan dirinya berkontribusi lebih ketimbang pendahulunya.
Belgia juga fenomenal. Tim asuhan Roberto Martinez merupakan generasi emas berikutnya setelah era Jan Ceulemans, Eric Gerets, dan Enzo Scifo, yang mendunia pada dawasarsa 1980-an. Kala itu Ceulemans dan kawan-kawan melaju ke semifinal Piala Dunia Meksiko 1986 sebelum ditundukkan Argentina yang diperkuat Diego Maradona, juara kala itu.
Martinez pun membuktikan diri sebagai pelatih bertangan dingin. Ia di antaranya tak memanggil Radja Nainggolan karena ketiadaan peran bagi si gelandang dalam skema permainannya. Ia juga berani memasang formasi tak lazim, salah satunya dengan tidak memasang penyerang sayap pada laga melawan Brasil, yang terbukti jitu meredam tim ”Samba”.
Perancis berambisi merebut trofi untuk kedua kali setelah 1998. Dua tim Amerika Latin mereka pukul secara beruntun, Argentina di babak 16 besar, dan Uruguay di perempat final. Dengan bintang dalam performa terbaik, seperti Kylian Mbappe dan Antoine Griezmann, tak sulit bagi Pelatih Didier Deschamps untuk melecut ”Les Bleus” menggedor lawan.
Faktor mental menjadi penentu dalam laga ketat di semifinal, yang akan dimulai Rabu (11/7/2018) dini hari, pukul 01.00 WIB, antara Perancis dan Belgia. Semifinal berikutnya, Kroasia versus Inggris pada Kamis (12/7/2018) pukul 01.00 WIB.
Bisa jadi, posisi Belgia dan Kroasia yang tidak diunggulkan ketimbang Inggris dan Perancis yang pernah juara bakal menguntungkan skuad asuhan Martinez dan Zlatko Dalic. Jika kedua tim yang belum pernah tampil sebagai juara itu bisa tampil tanpa beban, bakal lahir juara dunia baru di Rusia 2018.
Tampilnya juara dunia baru akan mengulang siklus 20 tahunan, yang terjadi sejak 1958, kala Brasil juara untuk pertama kali. Siklus itu terulang pada 1978 ketika Argentina menjadi juara dunia, dan Perancis pada 1998.
Munculnya juara dunia baru bakal seiring dengan fenomena unik 2018, kala tim-tim unggulan berguguran sebelum semifinal, mulai dari Jerman, Portugal, Uruguay, Argentina, hingga Brasil. Fakta itu sekaligus menegaskan bahwa dominasi tak pernah abadi dalam sepak bola, dan kemapanan tim itu relatif, sehingga tim sekelas Jerman pun, yang juga juara bertahan, bisa terempas di tangan Korea Selatan.