”Tentara Larva Hitam” Pengolah Sampah Organik di Lombok
Oleh
KHAERUL ANWAR
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat bekerja sama dengan Kementerian Kehutanan Republik Korea dalam mengolah sampah organik menjadi pupuk hayati. Kerja sama tersebut diwujudkan dalam proyek percontohan (pilot project) pengelolaan sampah organik teknologi biokonversi dengan sistem black soldier fly (”tentara larva hitam”).
Proyek percontohan ini berlokasi di areal seluas 2 hektar di Dusun Bebae, Desa Lingsar, Lombok Barat, yang diresmikan beroperasinya pada Senin (9/7/2018) oleh Sekretaris Daerah NTB Rosiyadi Sayuti. Hadir dalam acara tersebut Menteri Kehutanan Republik Korea Kim Jae-hyun.
Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTB Madani Mukarom, proyek percontohan itu merupakan tindak lanjut Penandatanganan kerja sama dengan Forest for Life Indonesia (FFLI), sebuah yayasan yang menampung dana tanggung jawab sosial perusahaan Korea Selatan.
Menteri Kim Jae-hyun mengatakan, negara berkomitmen membantu pelestarian hutan dan lingkungan hidup di Pulau Lombok. Selain percontohan pengelolaan sampah organik itu, Pemerintah Republik Korea juga membantu pengembangan Taman Wisata Gunung Tunak di Lombok Tengah.
Dukungan pemerintah daerah dan masyarakat menjadi kunci keberhasilan proyek itu, bahkan model pengelolaan sampah itu bisa menjadi model dan direplikasi untuk daerah-daerah lain. ”Saya berharap, Pemerintah NTB menjadi pelopor teknologi pengelolaan sampah organik ini,” ujarnya.
Black soldier fly (Hermetia illucens) adalah jenis lalat yang mampu mengolah bahan organik secara alami menjadi sumber protein serta sumber pupuk organik dan produk turunannya yang bermanfaat untuk pertanian, peternakan, dan perikanan. Untuk kegiatan pemrosesan pupuk hayati itu, telah dibangun infrastruktur yang dibiayai oleh FFLI sebesar Rp 480 juta di lokasi yang semula kandang sapi itu.
Pembangunan infrastruktur itu berupa bioreaktor (wadah pengolahan limbah), raring house (tempat pembiakan pupa hingga menjadi lalat dan bertelur), hatchery (kandang penetasan telur black soldier fly), dan bak pupuk cair maggot (PCM).
Bioreaktor berukuran 1 meter x 3 meter sebanyak 24 itu sebagai wadah pengolahan sampah organik, seperti limbah sayur-sayuran, buah-buahan, dan makanan lainnya, yang dicampur dengan black soldier fly.
Bioreaktor itu menampung 2,4 ton sampah sehari. Telur lalat dilepas ke dalam limbah dan akan menjadi larva. Larva ini akan menyantap habis sampah itu selama 15 hari. Apabila sudah kenyang, larva akan naik ke bioreaktor yang bagian pinggirnya dibuat miring. Saat itu, larva akan kencing yang air kencingnya dibuatkan saluran menuju bak penampung.
Nutrisi air kencing larva ini diperkaya dengan metode fermentasi untuk dijadikan pupuk cair, sedangkan limbah sayuran dan buah-buahan dijadikan sebagai pupuk kompos. Lalat ini hanya hidup lima hari, dan masa itu digunakan untuk pengembangbiakannya.
Untuk mendapatkan bahan baku limbah, kata Madani Mukaram, diupayakan kerja sama dengan hotel atau restoran di Kota Mataram. Saat ini pasokannya 1 ton sehari, di bawah daya tampung proyek percontohan sebesar 2 ton hingga 4 ton sehari. Pasokan dari hotel dan restoran juga masih bercampur antara sampah anorganik (plastik, botol, kaleng) dan organik. Karena itu, sampah tersebut masih perlu dipilah sebelum dikirim.
”Sumber pasokan sampah diperluas dengan merangkul lebih banyak hotel dan restoran di Kota Mataram hingga ke obyek wisata Senggigi, Lombok Barat. Selain itu juga menyasar produk sampah di sejumlah pasar Kota Mataram dan rumah tangga seputar proyek percontohan,” tutur Madani Mukarom.