Ditempa demi Bekerja pada Ketinggian
Tidak takut ketinggian tentu menjadi modal awal bisa bekerja pada ketinggian. Namun, keberanian itu harus dilengkapi pengetahuan teori dan praktik tentang bekerja pada ketinggian. Sebelum terjun ke lapangan, sejumlah orang ditempa demi memperoleh ”tiket emas” bekerja pada ketinggian.
Yudo Prayitno (46) fokus memanjat tali yang telah tertambat pada ketinggian sekitar 5 meter, Kamis (17/5/2018), di Indorope, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Ia menggunakan alat bantu gerak naik (ascender) untuk membantunya melaju ke atas. Ada dua tali yang digunakan untuk mencapai ke atas.
Setiap kali tangan kiri Yudo menggeser ke atas alat bantu gerak naik yang dicantolkan pada salah satu tali, tangan kanannya langsung bergerak menarik tali satunya untuk mengangkat tubuhnya. Butuh setidaknya 10 menit untuk tiba di atas.
Sore itu, Yudo bersama dua orang lainnya, Uus Ferdiansyah (41) dan Andhika (35), tengah diuji setelah mengikuti pelatihan selama lima hari di Indorope, sebuah perusahaan jasa dan pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) bekerja pada ketinggian dengan akses tali. Pelatihan itu ia ikuti guna memperoleh sertifikat tenaga kerja pada ketinggian (TKPK) tingkat 1.
Berada pada ketinggian bukanlah hal baru bagi Yudo. Sebab, pria asal Kabupaten Cianjur ini sudah tergabung dalam tim penyelamat di PT Aneka Tambang (Persero) Tbk di Bogor, Jawa Barat, sejak 2006. Dalam menjalankan tugasnya, saat ada kecelakaan di area tambang, tak jarang ia harus menghadapi medan pada ketinggian.
Ia menyadari pentingnya memegang sertifikasi dan lisensi TKPK jika bekerja pada ketinggian. Sebab, ada beberapa teori, teknik manuver, dan peraturan menggunakan akses tali yang belum ia pelajari. Sertifikat dan lisensi kerja itu akan menjadi ”tiket emas” agar bisa bekerja pada ketinggian dengan aman. ”Makanya, saya minta ke atasan saya supaya (tim penyelamat) punya sertifikasi kerja pada ketinggian,” ujarnya.
Beda halnya dengan Yudo, pelatihan di Indorope bagi Uus merupakan yang ketiga kalinya. Kini, ia berkonsentrasi untuk meraih sertifikasi TKPK tingkat 3. Sehari-hari, Uus adalah pekerja di divisi akses tali di PT Freshklindo Graha Solusi, perusahaan yang bergerak pada jasa kebersihan.
Pada 2008, ia tersertifikasi TKPK tingkat 1 saat masih berstatus pekerja lepas di bidang kebersihan. Dia bertekad mengikuti pelatihan setelah melihat adanya peluang bekerja pada ketinggian setahun sebelumnya.
Setelah tersertifikasi dan berlisensi sesuai ketentuan yang tertera pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 9 Tahun 2016 tentang K3 dalam Pekerjaan pada Ketinggian, Uus harus mengantongi pengalaman 500 jam kerja pada ketinggian untuk naik jenjang ke tingkat selanjutnya.
”Waktu itu, saya enggak berani langsung upgrade (ke tingkat selanjutnya) setelah 500 jam kerja pada ketinggian. Saya berdiskusi dengan pekerja ketinggian lainnya untuk memperdalam ilmunya,” ujar Uus.
Pengalaman Uus membersihkan bagian luar sejumlah gedung di Ibu Kota menyadarkannya bahwa setiap gedung menyimpan tantangan tersendiri. Sebab, setiap bangunan memiliki arsitektur yang unik. Dampaknya, dirinya harus berpikir ekstra untuk memecahkan cara menggapai sudut-sudut gedung yang sulit dicapai dan dibersihkan.
”Gedung di Indonesia, saat dirancang arsitek, yang dipikirkan hanya bentuk gedungnya, tetapi tidak memikirkan cara membersihkannya. Itu jadi tantangan buat kami,” kata pria asal Cianjur tersebut.
Dengan alasan itu, dia harus terlebih dahulu menyiapkan diri agar mantap saat mengikuti pelatihan dan ujian tingkat selanjutnya. Baru pada 2013, ia kembali ke Indorope untuk naik tingkat. Belum selesai perjuangannya, setelah ia memiliki pengalaman kerja pada ketinggian selama 1.000 jam, kini Uus kembali untuk memperoleh sertifikat TKPK tingkat 3.
Menurut dia, wawasan terkait dengan teori dan praktik bekerja pada ketinggian harus terus diasah. Alasannya bisa jadi ada teknik atau peralatan baru yang harus dipelajari. ”Mengikuti pelatihan bukan hanya demi dapat sertifikat, melainkan yang terpenting adalah ilmu yang diperoleh penting untuk keamanan pekerja saat di lapangan,” ucap Uus.
Kesadaran meningkat
Direktur Pengawasan Norma Keselamatan Kerja dan Kesehatan Kerja (K3) Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 Herman Prakoso Hidayat mewajibkan pekerja pada ketinggian untuk memiliki sertifikat dan lisensi merupakan salah satu langkah untuk menurunkan angka kecelakaan kerja di ketinggian.
Sebanyak 46 perusahaan jasa pembinaan K3 (PJPK3) telah ditunjuk pemerintah untuk menggelar pelatihan K3. Setiap pekerja yang telah mengikuti pelatihan dan lolos evaluasi akan memperoleh sertifikat dan lisensi yang diterbitkan Kementerian Ketenagakerjaan.
Adapun sertifikat yang diterbitkan Kementerian Ketenagakerjaan ialah TKPK tingkat 1-3 serta tenaga kerja bangunan tinggi (TKBT) tingkat 1-2.
Herman menuturkan, kesadaran perusahaan untuk mengutus pekerjanya mengikuti pelatihan K3 pada ketinggian mengalami peningkatan semenjak Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 9/2016 berlaku.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3, jumlah personel K3 bidang ergonomi dan lingkungan kerja pada ketinggian yang memiliki sertifikat TKBT tingkat 2 mengalami kenaikan paling signifikan, yakni lebih dari 100 persen sejak 2016 hingga akhir 2017.
Sejak 2008 hingga 2016, personel dengan sertifikat TKBT tingkat 2 sebanyak 3.210 orang. ”Sementara sejak 2016 sampai dengan 2017 jumlahnya bertambah lagi menjadi 3.600 personel,” kata Herman.
Jumlah pemegang sertifikat TKPK 1 juga telah mengalami kenaikan. Pada 2008 hingga 2016, jumlahnya 6.196 orang. Jumlah itu, sejak 2016 hingga 2017, meningkat lagi sebanyak 3.359 orang.
Meski demikian, kasus kecelakaan kerja tahun 2017 justru mengalami peningkatan. Data dari BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan kasus kecelakaan kerja pada 2017 sebanyak 123.041 kasus (3.173 meninggal).
Angka itu mengalami peningkatan dibandingkan dengan 2016, yakni 101.367 kasus (2.382 meninggal). Kasus kecelakaan dari ketinggian mencapai 30 persen dari kasus kecelakaan kerja fatal.
”Kami mengimbau kepada perusahaan supaya pekerjanya disertifikasi, diberi pemahaman bagaimana bekerja pada ketinggian. Ini terutama untuk mandor-mandor harus juga mengingatkan, kalau (pekerja) tidak mau (ambil sertifikasi), dicopot dan dikeluarkan saja,” kata Herman tegas.
Ketua Umum Asosiasi Rope Access Indonesia (ARAI) Rivalinno Handoko mengatakan, jika ingin mengikuti pelatihan K3 bekerja pada ketinggian, yang terpenting ialah peserta harus mampu membaca, tulis, dan matematika sederhana. Selain itu, peserta minimal harus memiliki ijazah SD. ”Peserta juga harus sehat jasmani dan rohani dan berusia minimal 18 tahun,” ucap Rivalinno.
Terkait dengan biaya, setiap PJPK3 mematok tarif berbeda. Untuk pelatihan untuk sertifikasi TKBT, peserta ataupun perusahaan harus mengeluarkan biaya Rp 2 juta-Rp 3 juta per orang. Adapun untuk TKPK, biaya yang harus dikeluarkan Rp 5 juta-Rp 8 juta.