Tarif Jadi Alat Geopolitik Donald Trump
Hasil analisis para ekonom Gedung Putih menemukan bahwa perang dagang merugikan AS sendiri, seperti diberitakan harian The New York Times, 6 Juni lalu. Kamar Dagang dan Industri AS yang dipimpin Tom Donahue juga menyimpulkan hal serupa. Akan tetapi, Pemerintah AS tidak terpengaruh dan terus melanjutkan perang dagang.
”Tarif mengganggu perkembangan ekonomi AS … dan memberi efek negatif terhadap dua juta pekerja,” kata Donahue (The Wall Street Journal, 31 Mei 2018).
Senat AS, pada 5 Juni 2018 kepada Ketua Dewan para Penasihat Ekonomi Gedung Putih Kevin Hassett, menanyakan, apakah tarif merugikan AS sendiri? Hassett berasal dari lembaga think tank konservatif, American Enterprise Institute, yang dikenal sebagai pendukung supremasi putih AS. Hassett tidak menjawab jelas. Ia hanya menegaskan Trump perunding hebat yang ”membujuk” negara-negara membuka pasar bagi produk AS.
Riset Deutsche Bank menunjukkan korporasi AS melakukan penjualan produk di seluruh dunia melampaui penjualan korporasi dunia non-AS di pasar AS (The Bloomberg, 12 Juli 2018). Tidak ada dasar bagi perang dagang Trump.
Mengapa Trump terus ngotot? Jeffrey Sachs, profesor dan Direktur the Center for Sustainable Development di Universitas Columbia menuliskan (CNN, 3 April), ”Trump yakin perang dagang mengacaukan China dan membuat AS mempertahankan dominasi ekonomi dan militer. … Betapa menyedihkan.”
Tipis harapan membuat Trump paham. Misinya tidak didasarkan pada ekonomi, tetapi supremasi picik.
Trump mengenakan ancaman tarif dengan premis AS masih jaya. Bagi Trump, sangat mudah memenangkan perang dagang. Gertakan dan hardikan dikira akan membuat dunia tunduk. Penasihat dagang Trump, Peter Navarro, ada di balik ide ini. Mendag Wilbur Ross mengatakan, program China ”Made in China 2025” mengerikan dan mengalahkan AS di masa depan. Ketua Perwakilan Dagang AS (USTR) Robert Lighthizer merupakan tokoh lain di balik ini semua.
Trump ”menyisihkan” pakar rasional, seperti Gary Cohn, penasihat ekonomi yang digantikan Larry Kudlow. Pamor Menkeu Steve Mnuchin, yang disukai China kini perlahan memudar.
”Para pekerja (pemilih Trump) mungkin akan menjadi korban, tetapi mereka tetap mendukung Trump, apa pun yang terjadi,” demikian harian The Los Angeles Times, Kamis (5/7).
China membaca
Langkah Trump yang mengabaikan logika ekonomi ini terbaca. Pada Jumat (6/7), Kementerian Perdagangan China menuduh Trump sedang mempermainkan mitra dengan memicu perang dagang. Seperti diberitakan harian The New York Times, 5 April 2018, para pakar China sangat yakin AS sedang mengetes apakah dunia mudah ditundukkan.
”Tarif lebih dari sekadar isu perdagangan. Di dalamnya ada misi geopolitik,” kata Wu Xinbo, Ketua Pusat Studi Amerika di Universitas Fudan, Shanghai.
Sikap perdagangan, anti-imigrasi dan anti-multilateralisme, menjadi warna utama pemerintahan Trump. Ini satu paket. Namun, hingga sekarang tidak satu pun mitra dagang AS yang keder.
Uni Eropa tidak takut, tetapi paham bahaya kebijakan Trump ini sehingga Presiden Perancis Emmanuel Macron mencoba mendekati Trump, tetapi gagal juga.
Tidak diketahui sampai kapan semua ini berujung. Hal yang jelas dunia kini terancam potensi penurunan pertumbuhan. Ketua Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) Angel Gurria mengingatkan, perang tarif adalah ancaman. Hal serupa sudah disampaikan Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia. Bank Sentral AS mengingatkan perang tarif telah membuat korporasi AS menahan niat ekspansi.
Model yang disusun para ekonom dari Pictet Asset Management memperlihatkan negara-negara yang terpukul adalah Taiwan, Korea Selatan, Singapura, Irlandia, Eslandia, Malaysia, Ceko, dan Hongaria. Negara-negara tersebut merupakan basis jaringan produksi global. Kerugian pasti dialami negara-negara yang diserang langsung oleh Trump.
Posisi Indonesia
Indonesia tidak menjadi basis produksi global. Efek ke Indonesia hanya berupa potensi penurunan ekspor ke dunia jika perekonomian global mengalami penurunan. Namun, Indonesia terkena efek lewat pasar modal dan kurs mata uang.
”Kita tidak terkena langsung lewat perdagangan, tetapi khawatir dengan efeknya terhadap rupiah,” kata Anton Supit, salah satu Ketua Apindo.
Meski demikian, krisis global akibat kemelut dagang secara empiris tidak akan separah krisis akibat kekacauan dari sektor keuangan. Begitu perdagangan lancar kembali, krisis akan cepat hilang. Dalam pandangan Bank Pembangunan Asia, kemelut dagang ini tidak akan memukul parah Asia yang semakin intensif melalukan perdagangan intra-Asia.
Pemicu perang dagang adalah Trump terhadap dunia. Negara-negara di luar AS kini sedang sibuk menjajaki pendalaman hubungan ekonomi. Presiden Asosiasi Industri Otomotif Jerman Bernhard Mattes mengatakan, meski ada risiko, pasar otomotif tetap tumbuh, seperti dikutip Reuters, Selasa (3/7/2018). Artinya, ada pasar domestik dan dunia yang menjadi harapan.
(AP/AFP/REUTERS)