Air mata mengalir di Pantai Pa’badilang di Desa Bongaiya, Kecamatan Bontomatene, Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Di sana, Kapal Motor (KM) Lestari Maju kandas dan mengakibatkan lebih dari 30 nyawa manusia melayang.
Sabtu (7/7/2018) sore, pasir putih di Pantai Pa’badilang dipadati sampah hingga pelampung bekas. Barang-barang tersebut seperti kasur, drum, popok bayi, hingga makanan kemasan berasal dari KM Lestari Maju. Ombak membawa sampah itu ke tepian.
Gubuk-gubuk yang menjadi tempat rehat diisi berbagai perlengkapan penyelam. Pakaian personel SAR yang basah dijemur di langit-langit gubuk. Nasi bungkus tersaji di sana. Aneka pelampung SAR bertumpuk di sana.
Pantai Pa’badilang menjadi lokasi pencarian korban penumpang KM Lestari Maju yang kandas pada Selasa (3/7/2018) siang. Kapal itu kandas setelah lambung kiri kapal bocor. Nakhoda kapal berinisiatif membuat kapal kandas agar seluruh badan kapal tidak tenggelam. Bangkai kapal masih tampak di lokasi, sekitar 300 meter dari bibir pantai.
Lebih dari 100 personel tim SAR gabungan–dengan polisi, TNI, dan komunitas penyelam–menjalankan operasi penyelamatan sekaligus pencarian korban. Sampai saat ini, tim masih mencari Aditya, bocah usia setahun dari Takalar. Pencarian dilakukan dengan menyisir pantai dan menyelam ke bagian dalam kapal.
Pasir putih dan tebing yang indah di Pantai Pa’badilang kini berganti pemandangan kapal karam yang dipenuhi karat. Suasana sejuk berubah duka karena lebih dari 30 orang meninggal di sana. Nyaris seluruh pembicaraan bertema kecelakaan kapal.
”Dulu, orang-orang datang ke sini untuk wisata. Sekarang melihat tragedi,” ujar Ilham (39), warga Selayar. Ilham kerap mengajak wisatawan ke Pa’badilang. Selain tebing karang yang menawan, pantai tersebut juga berpasir putih.
Biaya masuknya murah, hanya Rp 5.000 untuk mobil dan Rp 2.000 untuk sepeda motor. Saat akhir pekan, kata Ilham, ada ratusan orang berkunjung ke sana. Jalan menuju Pantai Pa’badilang masih berupa tanah dengan bebatuan.
Kini, orang-orang datang ingin memandang kapal yang kandas. Tidak sedikit pula pemilik kendaraan datang untuk menanyakan nasib kendaraannya yang masih tenggelam di bagian dalam kapal. Mereka berharap, kendaraan yang menjadi mata pencariannya dapat kembali lagi.
Tempat menembak
Peristiwa naas itu juga seperti menutup sejarah Pa’badilang. Dalam bahasa Selayar, Pa’badilang berarti tempat orang menembak. Berdasarkan sejarah yang diyakini masyarakat setempat, lokasi tersebut merupakan benteng pertahanan Kerajaan Tanete dalam menghadapi musuh atau perompak yang datang dari luar Selayar. Mereka kerap disebut ”Pasukan Serangiya”.
Jejak benteng pertahanan itu masih ada hingga kini, yakni bebatuan karang yang meninggi. Di antara karang itu terdapat lubang-lubang, tempat mengintai kapal-kapal musuh yang akan menyerang. Dari atas tebing karang, laut lepas di sekitar dapat terlihat. Masyarakat juga menyebut lokasi itu sebagai ’Bone Palukka”. Konon, di sana perompak berlabuh.
Kini, cerita Pa’badilang sebagai benteng pertahanan dan destinasi wisata berganti kisah memilukan. Tentang kecelakaan kapal tua yang berusia hampir 30 tahun dengan penumpang 202 orang. Tragedi yang menewaskan lebih dari 30 orang. Petang itu, awan kelabu berganti gelap.