Sinyal Menjelang Pilpres 2019
Sejumlah sinyal telah disampaikan beberapa politisi terkait peluang mereka sebagai salah satu kandidat pada Pemilihan Presiden 2019. Meski tersirat, sinyal-sinyal itu punya makna yang jelas.
Di turnamen Piala Dunia 2018 di Rusia, sebanyak delapan negara butuh tiga kemenangan lagi untuk membawa pulang trofi ikonik gubahan pemahat Italia, Silvio Gazzaniga. Serupa dengan kondisi itu, sekitar 9.300 kilometer dari Rusia, tepatnya di Indonesia, sejumlah figur politik nasional juga membutuhkan tiga ”kemenangan” untuk menjadi Presiden Indonesia melalui Pemilu 2019.
Tiga ”kemenangan” itu dimulai dengan meraih rekomendasi dari partai politik, seperti yang disyaratkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Lalu, memperoleh pasangan calon sebagai keabsahan berkontestasi. Terakhir, mereka harus mendapat suara terbanyak di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Namun, tidak seperti laga di Piala Dunia, di mana negara peserta dan materi pemainnya telah secara gamblang diketahui, kontestasi Pilpres 2019 masih penuh teka-teki. Sejumlah tokoh politik belum secara tersurat menyatakan kesiapannya bertarung di pilpres, 17 April 2019. Yang dilontarkan kepada publik umumnya baru sinyal-sinyal penuh kode.
Salah satu nama yang mulai disebut sebagai kandidat di Pilpres 2019 adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Sejumlah lembaga kajian di luar negeri, seperti Center for Strategic and International Studies di Amerika Serikat dan Lowy Institute di Australia, telah menyebut Anies sebagai salah satu kandidat baru pesaing Presiden Joko Widodo pada 2019.
Sejumlah survei yang dilakukan sejumlah lembaga di dalam negeri pada tahun ini menunjukkan, tingkat keterpilihan Anies berada sejajar dengan mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia Gatot Nurmantyo dan Komandan Satuan Tugas Bersama Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono. Ketiga sosok ini juga sering disebut berpeluang maju di Pilpres 2019.
Di tengah mulai santernya isu Pilpres 2019, Anies terlihat beberapa kali bertemu dengan sejumlah tokoh senior. Sebut saja Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua MPR Zulkifli Hasan, dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Dalam sejumlah pertemuan itu, Anies hampir selalu menyatakan tak ada pembahasan tentang kemungkinan dirinya menjadi maju sebagai capres atau cawapres pada Pemilu 2019.
Namun, pada saat yang sama, sinyal yang berbeda juga dia kirimkan. Hal ini, misalnya, saat kemarin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, ia ditanya sejumlah wartawan tentang kesiapannya bertarung di Pilpres 2019. Dengan tersenyum ia menjawab, ”Jangan shalat sebelum azan mulai. Sekarang belum azan, kok.”
Jawaban penuh diplomasi dan teka-teki juga dilontarkan Gatot Nurmantyo ketika disinggung terkait kesediaannya maju di pilpres.
”Saya sebut (pencalonan presiden) takdir. Karena yang punya kuasa menunjukkan presiden 2019 itu adalah Allah SWT,” kata Gatot Nurmantyo pada April lalu.
Saya sebut (pencalonan presiden) takdir. Karena yang punya kuasa menunjukkan presiden 2019 itu adalah Allah SWT.
Sementara itu, saat ditanya tentang hal serupa, biasanya Agus Yudhoyono menjawab dengan kalimat, ”Saya ingin berperan, tetapi itu tentunya kalau rakyat memiliki harapan dan ekspektasi. Kita dengarkan, tetapi tentunya kami juga harus paham dengan realitas politik.”
Tidak baru
Sinyal-sinyal tersirat seperti di atas bukan hal baru dalam kontestasi politik, khususnya terkait kesiapan seseorang untuk maju sebagai capres atau cawapres pada pemilu.
Sinyal serupa, antara lain, pernah disampaikan Jokowi saat namanya muncul sebagai bakal capres pada 2013. Saat itu, Jokowi berkali-kali menyatakan tetap konsentrasi menyelesaikan tugasnya sebagai gubernur dan menolak mengomentari sejumlah pendapat terkait peluangnya pada Pilpres 2014.
”Coba kita lihat, di depan kita itu ada apa. Hujan deras, kan? Kita ngurusi hujan deras ini saja. Kok, malah ngurusin survei-survei,” jawab Jokowi ketika ditanya wartawan terkait hasil sejumlah lembaga survei yang menempatkan dirinya sebagai salah satu tokoh unggulan sebagai capres pada Pemilu 2014 (Kompas, 8/1/2014).
Namun, akhirnya, setelah 17 bulan menjabat sebagai orang nomor satu di DKI Jakarta, Jokowi mengumumkan kesediaannya berkontestasi di Pilpres 2014. Hal itu pertama kali dia sampaikan di Rumah Pitung, Marunda, Jakarta Utara, dengan mencium bendera Merah Putih pada 14 Maret 2014.
Pengumuman dilakukan pada hari baik bagi umat Islam, yaitu Jumat. Permainan simbol tidak hanya itu. Disadari atau tidak, durasi masa jabatan yang memasuki bulan ke-17 juga memberikan makna lain. Tujuh belas adalah total rakaat shalat dalam lima waktu dalam satu hari. Tujuh belas juga tanggal Kemerdekaan Indonesia.
Kode serupa pernah disampaikan Anas Urbaningrum beberapa saat setelah menjadi Ketua Umum Partai Demokrat, Mei 2010. Saat itu, ketika ditanya apakah akan maju sebagai capres pada Pilpres 2014, ia menjawab, ”Sekarang waktunya dzuhur, ya, shalat Dzuhur dahulu.” (Kompas, 26/5/2010)
Anas akhirnya tidak ikut dalam kontestasi pada Pilpres 2014. Kini ia masih ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, setelah divonis bersalah dalam korupsi proyek kompleks olahraga di Hambalang, Bogor.
Akhirnya, seperti diucapkan filsuf termasyhur Italia, Umberto Eco (1932-2016), ”Tanda ialah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mengganti hal yang lain”. Terkait hal itu, pernyataan penuh sinyal juga jamak digunakan politisi untuk menyembunyikan niat mereka yang sebenarnya. Kini, mari kita tunggu perwujudan dari berbagai sinyal itu pada pekan pertama Agustus mendatang.