Sebagian pelaku melakukan kejahatan jalanan demi memenuhi kebutuhan mereka akan narkoba.
Oleh
Windoro Adi/Wisnu Aji Dewabrata
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Lebih separuh penjahat yang ditangkap polisi, melakukan kejahatan untuk memenuhi kebutuhan mereka akan narkoba, terutama sabu. Sebagian besar dari tersangka ini berusia 15-21 tahun.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono, Jumat (6/7/2018), mengatakan, dalam kurun tiga hari yakni 3-5 Juli, Polda Metro Jaya menahan 73 tersangka kejahatan jalanan. Mereka melakukan sejumlah kejahatan antara lain penjambretan, pemerasan, dan pencurian sepeda motor.
Dari 73 tersangka itu, 27 orang di antaranya ditembak dan menyebabkan tiga tewas. "Ini adalah bagian dari Operasi Cipta Kondisi yang kami gelar sejak 3 Juli sampai 3 Agustus mendatang," ucap Argo.
Dihubungi terpisah, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Nico Afinta mengatakan, lebih dari separuh tersangka yang ditangkap itu berusia 15-21 tahun. "Ini fakta baru. Umumnya, usia tersangka yang kami tangkap, 25-35 tahun," ungkap Nico.
Hasil pemeriksaan urine para penjahat belia ini, lanjut Nico, menunjukkan bahwa mereka mengonsumsi narkoba jenis sabu.
Menurut Nico, para penjahat muda ini sebagian besar mencuri telepon selular (ponsel). Uang hasil penjualan itu lantas dibelikan sabu.
"Mereka memilih mencuri, merampas, atau menjambret ponsel karena ponsel mudah dijual. Rata-rata (satu ponsel) mereka jual dengan harga Rp 500.000," ujar Nico.
Mengamati hal ini, Nico berpendapat bahwa kejahatan jalanan di wilayah hukum Polda Metro Jaya kali ini disebabkan karena disorganisasi sosial (social disorder).
"Teori (pencet) balon tidak tepat karena kejahatan jalanan berlangsung baik di daerah penyangga Jakarta, maupun Jakarta. Tidak berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain. Teori regenerasi dalam masa baby boomer di lingkungan kelompok penjahat, juga belum terjadi. Teori paceklik kaum miskin dari luar kota Jakarta ke Jakarta untuk berbuat jahat, juga tidak terjadi. Sebab, usia mereka dalam teori terakhir ini umumnya sudah matang, berkisar antara 30-40 tahun," papar Nico.
Menurut dia, gejala disorganisasi sosial yang menjerat anak muda berbuat jahat bukan bagian dari titian karier kejahatan para penjahat. "Ini social disorder. Anak muda butuh duit, mencuri, merampas ponsel, lalu dijual dan dibelikan sabu," katanya.
Kriminolog Universitas Indonesia Kisnu Widagso sependapat. "Disorganisasi sosial di kalangan anak muda ini terjadi karena keluarga, sekolah, lingkungan, dan pemerintah, abai. Para pelaku ini tidak mendapat perhatian layak dari keempat organisasi sosial ini sehingga mereka terperangkap narkoba," tegasnya.
Pendekatan keras polisi
Pada bagian lain, Kisnu mengatakan, kualitas kejahatan jalanan meningkat karena terbatasnya sumber daya polisi di jalanan. "Pada masa arus mudik dan arus balik Lebaran, kejahatan relatif turun karena polisi ada di mana-mana. Setelah itu, jalanan relatif kosong oleh polisi," ujarnya.
Khusus dalam konteks kejahatan jalanan di Tangerang, Kisnu berpendapat, beban tugas polisi terbagi untuk kegiatan pilkada.
"Tetapi secara umum, saya sependapat dengan Pak Nico. Kejahatan jalanan kali ini disebabkan karena adanya social disorder," ujar Kisnu.
Ia berpendapat, pelaku yang menewaskan korban seperti penjambret di Cempaka Putih, Jakarta Pusat; dan Kota Tangerang pekan lalu menunjukkan, pelaku tidak mau mengambil risiko. Selain itu, pelaku berpikir mereka harus mendapat hasil dalam aksinya.
Kisnu menambahkan, pendekatan keras (hard approach) polisi terhadap pelaku kejahatan adalah strategi karena sumber daya polisi terbatas. Tindakan keras diharapkan membuat pelaku kejahatan gentar, sehingga mereka akan berpikir lagi untuk melakukan kejahatan.
Dalam tiga hari Operasi Cipta Kondisi, menurut Argo, polisi mengungkap 69 kasus kejahatan jalanan dan mengamankan 387 orang. Sebanyak 73 orang ditahan karena diduga melakukan tindak pidana premanisme, pembegalan, pencurian, pencopetan, penjambretan, pencurian kendaraan, dan penodongan.
Sisanya, yakni sebanyak 314 orang dibina karena tidak terbukti melakukan kejahatan.
“Sebanyak 27 pelaku dilumpuhkan karena melawan saat ditangkap. Tiga pelaku dilakukan tindakan tegas dan meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit,” ujarnya.
Polisi juga menyita sejumlah senjata tajam dan senjata api rakitan.
Menurut Argo, setelah operasi selesai, polisi berharap masyarakat lebih waspada dan menjaga diri. Masyarakat jangan memberi kesempatan pada pelaku kejahatan, misalnya, membawa tas dalam posisi yang mudah ditarik saat berada di jalan.
“Kami melakukan operasi satu bulan dulu. Mudah-mudahan tingkat kriminalitas turun drastis,” ujar Argo.
Ekstra keras
Menyinggung soal narkoba yang memicu orang berbuat jahat, baik Kisnu maupun Pengamat Sosial Perkotaan Tubagus Haryo mengingatkan, instansi terkait baik pemerintah maupun lembaga swadaya harus bekerja ekstra keras menekan peredaran narkoba.
Instansi terkait juga perlu menyiapkan tempat dan proses rehabilitasi untuk memulihkan para pecandu narkoba sampai mereka dapat hidup mandiri, memeroleh pekerjaan, serta memenuhi kebutuhan dasar.
"Harus dipikirkan bersama, setelah para pencandu ini pulih dan bekerja, apakah kebutuhan sandang, pangan, papan, dan lingkungan sosial yang sehat terpenuhi," kata Tubagus.