BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — DPRD Provinsi Lampung membentuk panitia khusus dugaan tindak pidana Pemilihan Kepala Daerah Lampung. Pansus itu dibentuk untuk mengusut dugaan kasus politik uang pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung yang dilaporkan masyarakat.
Kesepakatan pembentukan pansus tersebut mengemuka dalam sidang paripurna DPRD Lampung, Jumat (6/7/2018), di Bandar Lampung. Pembentukan pansus itu disetujui semua fraksi. Pansus mulai bekerja sejak ditetapkan dan diharapkan dapat memberikan laporan pada 18 Juli 2018.
Pansus diketuai Mingrum Gumai dari Fraksi PDI-P. Adapun anggota pansus terdiri atas 11 anggota Dewan.
Ketua DPRD Lampung Dedi Afrizal mengatakan, pansus tersebut dibentuk untuk menangani laporan dari masyarakat terkait dugaan tindak pidana politik uang dalam Pilgub Lampung. Pansus bertugas mendalami persoalan tersebut.
Dia menegaskan, pembentukan pansus tersebut tidak untuk mengintervensi penyelenggara dan pengawas pemilu. ”Kami tidak mengambil keputusan, tapi mengeluarkan rekomendasi. Kami tentu tidak akan melakukan intervensi, justru memberikan penguatan kepada Bawaslu. Kami ingin menjaga proses demokrasi agar berjalan sesuai harapan masyarakat,” tutur Dedi.
Untuk dapat memberikan rekomendasi, lanjutnya, diperlukan pembuktian terkait kasus dugaan politik uang yang dilaporkan masyarakat. Untuk itulah, pansus tersebut dibentuk oleh DPRD.
Saat ini, Bawaslu Lampung telah menerima 17 laporan kasus dugaan politik uang. Meski begitu, hingga saat ini, belum ada kasus yang masuk ke tahap penyidikan.
Ketua Bawaslu Lampung Fatikhatul Khoiriyah mengatakan, kasus politik uang itu terjadi di 10 kabupaten/kota, yakni Kabupaten Pesawaran, Pringsewu, Tanggamus, Lampung Tengah, Lampung Timur, Pesisir Barat, Way Kanan, Tulangbawang Barat, Lampung Selatan, dan Kota Bandar Lampung.
Hingga kini, Bawaslu masih melakukan pemeriksaan dan pemanggilan sejumlah pihak terkait, baik pelapor, saksi, maupun terlapor.
Bawaslu Lampung masih melakukan pemeriksaan atas sejumlah alat bukti yang diberikan para pelapor. Sejumlah alat bukti tersebut, antara lain, berupa amplop berisi uang pecahan Rp 50.000 sebanyak Rp 20 juta. Meski begitu, tidak ditemukan gambar atau stiker yang mengarahkan agar pemilih mencoblos pasangan calon tertentu.