Nasib Buruk Generasi Emas ”Tiga Singa”
Sudah 28 tahun sejak Inggris terakhir kali menapaki semifinal Piala Dunia. Sejak Piala Dunia Italia 1990, ”Tiga Singa” melewati beberapa fase generasi emas, tetapi selalu terhenti di perempat final.
Sejak 1990, salah satu generasi emas yang paling berkilau ialah saat Piala Dunia Korea Selatan dan Jepang 2002. Pasukan ”Merah dan Putih” hadir dengan pemain megabintang dari klub lokal, Manchester United, Liverpool, dan Arsenal.
Lini belakang terbanyak disumbang pemain Arsenal, yang kala itu menjuarai Liga Inggris musim 2001-2002. Mereka adalah David Seamann, Ashley Cole, Sol Campbell, dan Martin Keown. Kuartet ”Meriam London” disokong oleh bek asal Leeds United, Rio Ferdinand dan Danny Mills.
Di lini tengah, pemain Manchester United mendominasi. Inggris ditopang sang kapten karismatik David Beckham, Paul Scholes, dan Nicky Butt. Rival ”Setan Merah”, Liverpool, mengisi kekosongan lini serang dengan trio Emile Heskey, Robbie Fowler, dan Michael Owen.
Kala itu, Owen adalah peraih Ballon D’or atau Pemain Terbaik Dunia. Ia mengalahkan nomine lain, seperti Raul Gonzales dan Oliver Kahn. Sepanjang kalender 2001, pemain mungil itu mencetak 31 gol.
Asa juara di Korsel dan Jepang membuncah kala Tiga Singa menaklukkan generasi emas Argentina di babak grup, 1-0, lewat penalti Beckham. Padahal, Argentina penuh talenta. Mereka bermain dengan Gabriel Batistuta, Hernan Crespo, Juan Sebastian Veron, Ariel Ortega, dan Javier Zanetti. Kemenangan itu membuat Inggris melaju ke babak 16 besar, sedangkan Argentina pulang.
Inggris semakin menunjukkan taring di babak 16 besar. Anak asuh Sven Goran Eriksson itu membantai Denmark tiga gol tanpa balas. Masing-masing Ferdinand, Owen, dan Heskey menyumbang satu gol untuk menghentikan Jon Dahl Tomasson dan kawan-kawan.
Petaka terjadi di Stadion Shizuoka, Jepang, saat babak delapan besar digelar antara Inggris dan Brasil. Tiga Singa unggul terlebih dahulu lewat gol serangan balik yang dieksekusi Owen. Namun, babak pertama berakhir imbang setelah pada pengujung babak, sontekan Rivaldo yang tertuju ke sudut kanan gawang mengelabui Seamann.
Lima menit babak kedua berjalan, Scholes menjatuhkan Kleberson di wilayah pertahanan Inggris. Wasit Felipe Ramos asal Meksiko yang memimpin laga meniup pluit. Ramos memberikan tendangan bebas untuk Brasil.
Ronaldinho mengambil tendangan bebas itu. Jarak bola dengan gawang saat itu sekitar seperempat lapangan. Ronaldinho, antara sengaja mengarahkan ke gawang atau bermaksud mengumpan, justru menendang bola lambung dan menukik di kiri atas gawang Seamann. Tangan kiper Arsenal itu tidak mampu menggapai bola. Skor pun menjadi 2-1 untuk Brasil dan tidak berubah sampai akhir laga.
Perjalanan generasi emas Tiga Singa berhenti di babak delapan besar. Mereka pulang dengan kekecewaan. Sementara itu, Brasil yang melaju ke semifinal tidak terbendung. Ronaldo dan kawan-kawan pun menjadi juara di Korsel dan Jepang.
Generasi emas kedua
Empat tahun setelahnya, Inggris kembali dari luka. Eriksson datang untuk kali kedua bersama Tiga Singa ke Piala Dunia Jerman 2006, dengan skuad generasi emas yang lebih lengkap dari tahun 2002.
Di posisi bek tengah, Tiga Singa memiliki dua lapis pemain yang selevel. Formasi Inggris yang bermain dengan dua bek tengah dapat memilih di antara Ferdinand, Campbell, John Terry, ataupun Jamie Carragher.
Beckham tetap menjadi kapten. Kali ini ia ditopang oleh gelandang terbaik Inggris, Frank Lampard, Steven Gerrard, dan Owen Hargreaves. Sementara itu, Wayne Rooney berperan sebagai pencetak gol tunggal.
Inggris tampil beringas. Mereka tidak terkalahkan sejak babak grup hingga babak 16 besar. Jalan Inggris mulus saat menghadapi Paraguay, Trinidad Tobago, dan Swedia di babak grup, serta Ekuador di babak 16 besar.
Hingga ke babak delapan besar, Tiga Singa ditantang Portugal. Saat itu, jenderal Portugal, Luis Figo, sedang dalam karier puncak. Figo disokong Rui Costa, Nuno Gomes, Deco, dan pemain debutan Cristiano Ronaldo.
Babak pertama berakhir tanpa gol. Babak kedua baru mulai 15 menit, drama terjadi. Rooney yang saat itu baru berumur 20 tahun tertangkap wasit menginjak kaki bek Portugal, Ricardo Carvalho. Wasit asal Argentina, Horacio Elizondo, mengeluarkan kartu merah dan memberikannya langsung kepada pemain debutan asal Manchester United itu.
Kenaifan Rooney membuat Inggris tampil pincang dengan 10 pemain. Untungnya, Portugal tidak mampu memanfaatkan keadaan. Skor tetap 0-0 setelah 90 menit waktu normal dan 30 menit babak ekstra.
Menuju adu penalti, Inggris kehilangan penendang terbaik, Beckham, yang sudah digantikan Aaron Lennon pada babak kedua. Hasilnya, mereka kalah 1-3 di babak tos-tosan. Sepakan Gerrard, Lampard, dan Carragher ditahan kiper Portugal, Ricardo.
Kekalahan negeri ”Sang Ratu” sekaligus menyudahi perjalanan Eriksson bersama timnas Inggris. Ia dinilai tidak mampu memaksimalkan potensi generasi emas Tiga Singa.
”Singa Muda”
Setelah 2010 dan 2014 gagal total di Piala Dunia, Inggris hadir ke Rusia dengan bentuk berbeda. Kini mereka berwajah ”Singa Muda” dengan umur rata-rata 26 tahun atau termuda ketiga di Piala Dunia 2018.
Perubahan mencolok terjadi di kursi pelatih yang ditempati Gareth Southgate. Untuk sekian waktu, Inggris berani memilih sosok pelatih muda minim pengalaman. Southgate baru berumur 47 tahun. Adapun sebelumnya Inggris selalu dilatih pelatih gaek, seperti Eriksson, Steve McClaren, Fabio Capello, Roy Hodgson, dan teranyar, Sam Allardyce.
Southgate yang sebelumnya melatih U-21 Inggris membawa eksperimen nan segar. Dalam pemilihan skuad, ia meninggalkan sejumlah pemain langganan timnas, seperti Joe Hart, Chris Smalling, James Milner, Jack Wilshere, Theo Walcott, dan Wayne Rooney.
Mantan pemain nasional Inggris itu justru memilih pemain, seperti Jordan Pickford (24), Harry Maguire (25), Trent Alexander-Arnold (19), dan Ruben Loftus-Cheek (22).
Pilihan strategi Southgate pun menarik. Ia memilih 3-5-2. Sebelumnya, Inggris selalu akrab dengan strategi empat bek sejajar. Eriksson, McClaren, dan Capello identik dengan 4-4-2, sedangkan Hodgson dengan 4-2-3-1.
Formasi 3-5-2 yang digunakan pun sangat dinamis. Di posisi striker, Southgate memasang Harry Kane dan Raheem Sterling. Sterling ditempatkan lebih sebagai ”false 9”. Adapun Sterling berposisi asli sebagai penyerang sayap di Manchester City.
Di lini tengah, meski bermain dengan tiga gelandang, hanya Jordan Henderson yang bertugas mengawal pertahanan sekaligus jangkar. Dua gelandang lain, Jesse Lingard dan Delle Ali, diberikan tugas ”free role”. Lingard dan Ali bisa menjadi penyerang lubang ataupun menyisir dua sisi sayap.
Di lini pertahanan, keberadaan Kyle Walker menjadi pembeda. Walker berdiri sejajar bersama bek lain, John Stones dan Harry Maguire. Namun, Walker diberi kebebasan untuk membantu penyerangan. Dalam skema menyerang, Inggris hanya menyisakan dua bek di belakang.
Southgate mengenal Singa Muda. Ia memanfaatkan dengan baik kemampuan bola mati pemain. Dari sembilan gol dalam empat laga, tujuh gol berasal dari bola mati, di antaranya tiga sepak pojok, tiga tendangan penalti, dan satu skema tendangan bebas.
Kapten Inggris, Kane, menjadi pencetak gol terbanyak Piala Dunia dengan enam gol. Lima gol Kane berasal dari bola mati, antara lain dua sundulan dari sepak pojok dan tiga penalti.
Pada 7 Juli 2018, Inggris akan diuji oleh Swedia di Samara Arena dalam perempat final Piala Dunia Rusia 2018. Tentunya perempat final kali ini lebih mudah dibandingkan saat 2002 melawan Brasil dan 2006 melawan Portugal. Andai menang, Tiga Singa melaju ke semifinal setelah 28 tahun.
Pertanda saatnya Inggris berjaya mulai terlihat. Kutukan kegagalan adu penalti di Piala Dunia terhapus saat mereka menang 4-3 dalam adu tos-tosan melawan Kolombia. Itu merupakan kali pertama Inggris menang adu penalti dalam sejarah Piala Dunia. Sebelumnya, mereka selalu kalah dalam drama titik 11 meter pada 1990, 1998, dan 2006.
”Ini adalah kesempatan emas. Meskipun tim kami akan lebih baik dalam beberapa tahun mendatang, belum tentu kesempatan ini akan datang lagi,” kata Southgate jelang menghadapi Swedia.
Pendukung Inggris di seluruh dunia tampak percaya diri. Mereka mulai menyerukan It’s coming home atau saatnya trofi Piala Dunia kembali ke negara penemu sepak bola, Inggris, setelah terakhir juara di kandang sendiri pada 1966. (AFP/FIFA.COM)