MATARAM, KOMPAS — Sejumlah wilayah di Nusa Tenggara Barat mulai dilanda kekeringan seiring dengan mendekati puncak kemarau pada Agustus hingga Oktober. Pada Mei-Juni 2018, 100 desa di NTB terkena dampak kekeringan.
Dari pemantauan Kompas hingga Jumat (6/7/2018), embung di Desa Dakung, Kecamatan Praya Tengah, Lombok Tengah, pun tak lagi mengalirkan air ke areal sawah tadah hujan di desa itu. Terik cahaya matahari seakan memanggang kawasan tersebut. Tanah merekah, padahal biasanya liat dan licin pada musim hujan.
Tanaman padi yang baru tumbuh menjadi layu sehingga mirip semak belukar kering. Saluran irigasi yang seharusnya mengalirkan air ke areal sawah desa itu juga tampak kering. Pada musim hujan, saluran irigasi berlimpah air.
Biasanya, jeda beberapa bulan memasuki musim kemarau, sebagian petani menanam padi dengan memanfaatkan sisa air pada musim hujan. Air yang ada dinilai cukup untuk mengairi tanaman padi mereka. Perkiraan petani kini meleset dan mereka pun gagal panen.
Perkiraan petani kini meleset dan mereka pun gagal panen.
Andeng Komalasari (40), warga Desa Dakung, mengatakan, dirinya memiliki 25 are sawah tadah hujan. Pada Maret 2018 (musim tanam kedua), ia menanami sawahnya dengan padi karena saat itu air yang tersedia cukup untuk mengairi padi selama masa awal pertumbuhannya.
Untuk biaya proses produksi dan pembelian sarana produksi, ia memakai Rp 5 juta dari hasil penjualan gabah kering panen (GKP), yang dijual Rp 350.000 per kuintal. Meski gagal panen, Andeng masih memiliki sisa hasil penjualan gabah yang dia gunakan sebagai modal untuk jual beli gabah.
Saat ini hanya wilayah Kota Mataram yang tidak terdampak kekeringan. Sejumlah desa di Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Utara, Lombok Timur; juga di Kabupaten Sumbawa Barat, Sumbawa, Dompu, Bima, dan Kota Bima mulai kesulitan air bersih.
Kondisi itu juga diakui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB. Instansi ini mengatakan telah menyurati semua BPBD kabupaten/kota di NTB untuk mendata daerah-daerah yang dilanda kekeringan.
BPBD NTB menerima laporan, beberapa daerah di provinsi itu mulai dilanda kekeringan. Selama Mei-Juni 2018, ada 100 desa yang terdampak.
Langkah BPBD NTB itu dilakukan setelah menerima laporan bahwa beberapa daerah di provinsi tersebut mulai dilanda kekeringan. Warga pun telah meminta pasokan air bersih untuk keperluan rumah tangga mereka sehari-hari.
”Kekeringan di NTB belum merata, tetapi kabupaten/kota yang sudah atau yang belum terdampak supaya siap membuat rencana dan langkah konkret untuk mengatasi kekeringan,” ujar Agung Pramuja, Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD NTB, di Mataram, Lombok.
Selama Mei-Juni 2018, di NTB ada sekitar 100 desa yang terdampak kekeringan atau mendekati separuh jumlah desa yang terdampak pada 2017 yang mencapai 380 desa. Namun, jumlah desa yang terdampak dipastikan akan bertambah selama puncak musim kemarau pada Agustus, September, dan Oktober 2018.
Kekeringan mulai tampak di beberapa tempat pada Mei-Juni 2018, yang ditandai dengan adanya permintaan pasokan air bersih oleh sejumlah kabupaten. Namun, pasokan air yang diprioritaskan saat itu adalah untuk mushala dan masjid yang dibutuhkan warga untuk kegiatan ibadah selama Ramadhan.
Menurut Agung, menjelang puncak kekeringan, BPBD kabupaten/kota perlu mengantisipasinya dengan baik. Hal itu misalnya memetakan titik-titik rawan kekeringan, menentukan prioritas layanan distribusi air, serta pendistribusian air terencana dan tepat waktu tiba di daerah terdampak.
Kepala Dinas Sosial NTB Ahsanul Khalik juga telah meminta dinas sosial di kabupaten/kota untuk menginventarisasi daerah-daerah yang dilanda kekeringan. Bahkan, pihaknya telah melakukan distribusi air bersih ke sejumlah wilayah terdampak atas permintaan masyarakat.
”Di Lombok Timur sudah ada desa yang kami distribusikan air bersih. Sementara Lombok Utara, yang biasanya paling awal terdampak, sampai hari ini belum ada permintaan air bersih dari masyarakat,” ujar Ahsanul.