Di Balik Kemenangan Sutarmidji-Ria Norsan
Hasil hitung cepat menyatakan, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji-Ria Norsan yang diusung Golkar, Nasdem, PKS, Hanura, dan PKB menang. Pasangan tersebut, dalam versi hitung cepat, berhasil mengalahkan pesaing ketatnya, Karolin Margret Natasa-Suryatman Gidot, dari PDI-P dan Demokrat serta pasangan lainnya, Milton Crosby-Boyman Harun, dari Gerindra dan PAN.
Berdasarkan hasil hitung cepat dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI Network Denny JA), pasangan Sutarmidji-Ria Norsan meraih suara 58,29 persen. Sementara pasangan Karolin Margret Natasa-Suryatman Gidot meraih 34,35 persen suara dan pasangan Milton Crosby-Boyman Harun 7,37 persen.
Adjie Alfaraby, Direktur Konsultan Citra Indonesia-LSI Network Denny JA, Kamis (5/76/2018), mengatakan, ada tiga faktor yang memengaruhi kemenangan pasangan Sutarmidji-Ria Norsan. Pertama, pasangan Sutarmidji-Norsan adalah pasangan yang paling disukai atau paling tinggi tingkat akseptabilitasnya. Dari mereka yang menyatakan kenal dengan Sutarmidji, 78,80 persen menyatakan suka dengan Sutarmidji.
”Sementara mereka yang menyatakan suka dengan Karolin sebesar 69,70 persen, dan yang menyatakan suka dengan Milton sebesar 67,0 persen. Sementara pasangan wakilnya Sutarmidji, yakni Ria Norsan, juga paling tinggi tingkat akseptabilitasnya, yaitu 74,0 persen,” kata Adjie.
Kedua, Sutarmidji dipersepsikan sebagai calon gubernur yang paling bersih dari korupsi. Isu korupsi menjadi salah satu isu penting bagi masyarakat Kalbar. Sebesar 57,50 persen publik Kalbar meyakini Sutarmidji bersih dari korupsi, 8,80 persen menyatakan kurang percaya, dan 33,8 persen menyatakan tidak tahu/tidak jawab.
Ketiga, resistensi publik terhadap politik dinasti. Sebesar 51,0 persen publik Kalbar menyatakan bahwa majunya Karolin Margaret Natasa sebagai calon gubernur dinilai kurang pantas/tidak pantas sama sekali karena dianggap sebagai upaya petahana (Cornelis yang merupakan ayahnya) melanggengkan kekuasaannya melalui keluarga. Dan hanya 21,5 persen yang menyatakan hal itu pantas karena hak demokrasi Karolin.
”Selain itu, dukungan terhadap pasangan Sutarmidji-Norsan merata hampir di semua segmen pemilih. Namun, pasangan Karolin-Gidot juga memiliki keunggulan di beberapa segmen pemilih. Pada segmen jender, pasangan Sutarmidji-Norsan unggul di segmen pemilih laki-laki ataupun perempuan,” ujarnya.
Sementara itu, di segmen agama, pasangan Sutarmidji-Norsan unggul di segmen pemilih Muslim dengan dukungan 77,50 persen. Sementara pasangan Karolin-Gidot unggul di segmen pemilih Protestan 64,50 persen dan segmen pemilih Katolik 66,70 persen.
Pada segmen pemilih pemula (di bawah 19 tahun), kedua kandidat bersaing ketat, dengan angka dukungan yang sama sebesar 34,40 persen. Namun, di segmen usia yang lain, keseluruhan diungguli pasangan Sutarmidji-Norsan.
Secara teritori, pasangan Sutarmidji-Norsan juga unggul di mayoritas teritori di Kalbar. Sutarmidji-Norsan unggul di enam daerah pemilihan (dapil), sementara Karolin-Gidot unggul di dua dapil. Keunggulan Sutarmidji-Norsan di antaranya di dapil Kota Pontianak, Kabupaten Kubu Raya, dan Mempawah, Kabupaten Sambas, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Kapuas Hulu, dan Kabupaten Melawi.
Pasangan itu juga unggul di Kabupaten Sintang serta Kabupaten Kayong Utara dan Ketapang. Sementara pasangan Karolin-Gidot unggul di Kabupaten Bengkayang dan Kota Singkawang serta Kabupaten Landak.
”Meskipun Kalbar termasuk basis suara PDI-P, dalam pemilihan kepala daerah tidak selalu berbanding lurus dengan pemilihan legislatif. Pemilihan kepala daerah cenderung dipengaruhi sosok yang maju dalam kontestasi politik,” ujar Adjie.
Politik identitas
Pakar politik dari Universitas Tanjungpura Pontianak, Jumadi, mengatakan, Pemilihan Gubernur Kalbar masih kental dengan nuansa politik identitas. Hal itu terlihat dari peta sebaran pemilih masing-masing calon. Sutarmidji-Ria Norsan kuat di daerah yang didominasi masyarakat Melayu, sementara Karolin-Gidot kuat di daerah yang sebaran penduduknya mayoritas Dayak.
Politik identitas merupakan hal alami. Namun, ini menjadi persoalan saat ”digoreng” elite politik sehingga menjadi kontaproduktif. Elite politik mengonstruksi politik identitas dengan tidak menunjukkan keadaban dalam berdemokrasi. Hal itu bahaya karena jika terus-menerus dilakukan, setiap pilkada akan mengarah pada konflik. ”Ini akan membuat pembodohan bagi masyarakat. Politik identitas hendaknya dihentikan,” kata Jumadi.
Untungnya, sejauh ini kondisi keamanan di Kalbar masih terkendali. Kekhawatiran Kalbar daerah rawan hingga sejauh ini tidak terbukti. Pada pasangan calon hendaknya menerima apa pun hasilnya dari rekapitulasi yang akan dilakukan di tingkat provinsi pada 9 Juli mendatang. Berjiwa besar perlu dimiliki setiap elite politik dalam berdemokrasi.
Kepolisian Daerah Kalbar dan Komando Daerah Militer/XII Tanjungpura bahkan sudah 28 kali menggelar pertemuan dengan tokoh lintas agama dan etnis sebagai upaya meredam berbagai kemungkinan. Terakhir pertemuan digelar Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Provinsi Kalbar pada Rabu (6/7/2018).
Pertemuan itu dihadiri pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Kalbar, yakni pasangan Sutarmidji-Ria Norsan dan pasangan Karolin Margret Natasa-Suryadman Gidot. Satu pasangan tidak hadir dalam acara itu adalah pasangan Milton Crosby-Boyman Harun.
Tokoh masyarakat dan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Kalbar membacakan deklarasi dalam acara itu. Dalam deklarasi, mereka sepakat menjaga situasi keamanan di Kalbar hingga seluruh tahapan pilkada berakhir.
Cornelis, Ketua Tim Kampanye Karolin-Gidot, juga mengimbau kepada masyarakat agar jangan mudah terprovokasi dengan isu-isu di media sosial. Masyarakat diminta menunggu hasil penghitungan suara secara manual oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Kalbar.
Sementara itu, Prabasa Ananta Toer, Sekretaris Koalisi Pasangan Sutarmidji-Ria Norsan, mengimbau kepada seluruh tim sukses agar tidak merayakan kemenangan secara berlebihan. Sambil menunggu hasil penghitungan oleh KPU diharapkan bisa mengawasi rekapitulasi berjenjang.