Ketika malam menjelang di Akita, sebuah prefektur dengan luas lima kali kota Tokyo, Jepang, suasana di kota itu demikian lengang. Jalan utama menuju stasiun terbesar di kota itu sunyi senyap. Hampir tak ada pejalan kaki yang melintas.
Sebuah mal besar yang memasang baliho raksasa bertuliskan ”Mari nikmati belanja di malam hari” terpaksa harus tutup sebelum jam 7 malam karena tak ada pengunjung yang datang berbelanja. Ke manakah warga kota Akita?
Jumlah warga kota itu sebetulnya ada sekitar 600.000 orang. Namun, hampir separuh dari mereka adalah warga lansia berumur 60 tahun ke atas. Ketika sore berakhir, mereka lebih memilih berada di dalam rumah.
Sebagai ilustrasi, di salah satu sekolah di Akita, muridnya hanya 27 orang. Bukan karena kualitas sekolah itu buruk, melainkan karena sudah tak ada lagi anak-anak di kota ini. Pada tahun 2017, tingkat kematian di kota itu mencapai 15,5 per 1.000 orang atau yang tertinggi di Jepang dan tingkat kelahiran 5,4 per 1.000 orang atau yang terendah di Jepang.
Pada 2045 diperkirakan populasi Akita akan anjlok 41 persen karena separuh populasi sudah berusia di atas 65 tahun. ”Ini menakutkan. Dengan populasi yang terus menyusut cepat akan sulit membayangkan masa depan kota ini,” kata Koji Otomo (87), pensiunan guru dari Klub Shimohama.
Konsekuensi dari populasi yang menyusut dengan cepat adalah mahalnya biaya pemerintahan. ”Sangat mahal untuk memberikan pelayanan administratif di wilayah yang seperti ini,” kata Gubernur Akita Norohisa Satake.
Di Akita, jumlah rumah duka meningkat cepat dibandingkan bangunan publik lainnya. ”Bangunan-banguan tua dihancurkan dan bangunan baru muncul untuk dimanfaatkan sebagai rumah-rumah duka,” kata Fumika Miura, pegawai setempat.
Dengan populasi yang makin menua, Akita juga kekurangan tenaga perawat untuk lansia. Tenaga-tenaga perawat muda yang masih gesit terus menyusut sehingga sejumlah fasilitas perawatan akhirnya harus ditutup.
”Anak-anak yang lahir di pedesaan semua pindah dan tumbuh di Tokyo. Mereka berkeluarga dan berbisnis di sana. Hal ini sudah berlangsung sejak era pertumbuhan ekonomi Jepang setelah perang,” kata Jun Numaya, anggota parlemen daerah Akita.
”Namun, pada akhirnya wilayah pedesaan akan kehilangan kemampuan untuk regenerasi karena rendahnya tingkat kelahiran. Jika fungsi pedesaan terhenti, secara alami akan membuat Tokyo berhenti berfungsi pula,” kata Numaya.
Tingkat kelahiran rendah
Saat ini, para perempuan di Kazuno, kota berpenduduk 31.000 orang di utara Akita, harus pergi ke kota tetangga di Odate untuk melahirkan karena rendahnya tingkat kehamilan di Odate.
”Tingkat kelahiran anak merupakan fondasi sebuah wilayah. Hal ini akan menjadi faktor utama bagi kemunduran Kazuno,” kata Daisuke Anbo, salah seorang ketua komunitas.
Untuk tetap menjaga produktivitas, sepertiga dari perusahaan-perusahaan yang berada di Akita mengizinkan karyawannya bekerja sampai usia 70 tahun dan merupakan tingkat masa kerja tertinggi di Jepang. Dari 148 orang yang bekerja di perusahaan taksi, misalnya, lebih dari separuhnya berusia di atas 65 tahun.
Alhasil, orang-orang berusia muda merupakan ”komoditas langka” di kota ini. Sakura Nakamura, mahasiswa asal Nagasaki yang belajar di Akita International University, sering diminta untuk tetap bermukim di kota itu. ”Semakin lama saya semakin sadar bahwa kota ini sangat membutuhkan orang-orang muda,” kata Nakamura. (REUTERS)