BRISBANE, KOMPAS -- Pemerintah Nauru telah menolak Australian Broadcasting Corporation atau ABC untuk meliput Forum Kepulauan Pasifik (PIF) yang akan berlangsung pada September mendatang. Pemerintah di negara berpenduduk 11.000 orang di Pasifik ini beralasan, media milik pemerintah Australia itu terlalu ikut campur dalam politik Nauru ketika meliput Pemilu 2016 dan menunjukkan sikap kurang hormat terhadap Presiden Baron Waqa.
”Media Australia tidak berhak menentukan siapa yang boleh masuk ke Nauru,” demikian pernyataan Pemerintah Nauru, Selasa (3/7/2018), seperti dikutip news.com.au.
Penolakan itu telah mengundang kritik dari pemimpin oposisi Bill Shorten, media Australia dan Selandia Baru serta harian Vanuatu Daily Post.
Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull menolak untuk melakukan intervensi. ”Semua tergantung dari Nauru. Kami menghormati kedaulatannya, tetapi tentu kami lebih senang bila peristiwa seperti ini terbuka bagi semua media,” tuturnya kepada wartawan di Sydney, Senin (2/7/2018).
Ketika ditanya apakah ia akan membicarakan hal ini dengan pemimpin Nauru, Turnbull mengatakan, ia tak mau melakukan ”diplomasi megafon” melalui media.
Australia termasuk anggota dan negara donor penting bagi PIF yang didirikan 1971. ABC berencana mengirimkan seorang juru kamera dan dua wartawan bersama seorang wartawan dan juru foto dari Australian Associated Press (AAP).
Direktur Pemberitaan ABC Gaven Morris mengatakan, Nauru tidak berhak mendikte siapa yang hadir dari kalangan media Australia untuk meliput ajang internasional. ”ABC tidak akan mundur dalam meliput Pacific Islands Forum di Nauru,” tutur Gaven dalam pernyataannya merujuk forum ke-49 yang akan berlangsung dari tanggal 1-9 September dengan peserta dari 30 negara, termasuk 18 negara anggota.
Namun, Nauru menilai ngototnya ABC untuk hadir dinilai sebagai sikap ”sombong, tidak hormat dan contoh anyar dari sikap merasa berhak pada organisasi media aktivis ini”.
Shorten mengatakan, ia paham bahwa Nauru punya hak untuk menolak ABC, tetapi Pemerintah Australia seharusnya melakukan pembelaan.
Vanuatu Daily Post mengatakan bahwa mereka tak akan meliput kegiatan ini.
”Kami diundang. Kami tidak mau datang,” tutur Dan McGarry, direktur media harian tersebut, melalui cuitannya. ”Semua diundang atau semua tak hadir,” katanya
Pengelolaan penahanan pengungsi oleh Pemerintah Australia dan Nauru telah berulang kali mengundang kecaman karena dianggap kurang manusiawi.
Pada 2016 Nauru menuduh laporan media Australia dan Selandia Baru kurang etis dan bias. Selain kritis terhadap perlakuan pada sekitar 300 pencari suaka yang masih ditahan di pulau itu, ABC juga melaporkan tuduhan sogokan terhadap pejabat-pejabat negara pulau itu.
Hanya awak media dari The Australian dan Channel Nine yang diperbolehkan berkunjung ke Nauru sejak BBC melaporkan berita yang kritis terhadap Pemerintah Nauru pada 2013.
Biaya permohonan visa yang tidak dapat dikembalikan (non-refundable) untuk awak media dinaikkan dari Rp 2,1 juta (200 dollar Australia) menjadi Rp 85 juta (8.000 dollar Australia) pada 2014 tanpa jaminan untuk disetujui. Sejak itu permohonan dari beberapa perwakilan media mancanegara, termasuk Australia, telah ditolak.
Rumah tahanan pencari suaka di Nauru yang didirikan oleh pemeritah John Howard pada 2001 kembali menjadi perhatian sejak September 2013 ketika Australia mulai memerangi sindikat penyelundupan manusia. Walau perang yang dimulai September 2013 itu tampak berhasil ketika tak ada lagi perahu datang sejak Desember 2017, Australia sering menjadi bulan-bulanan di forum internasional karena perlakuannya terhadap pencari suaka yang dinilai kurang manusiawi. Di lain pihak, hubungan Pemerintah Nauru dan Australia tampak sangat baik.
Penolakan terhadap ABC ini terjadi ketika Australia berusaha keras merangkul negara-negara Pasifik dalam rangka menahan laju pengaruh China di kawasan itu. Bulan April lalu, Fairfax memberitakan rencana China untuk membangun basis militer permanen di Vanuatu. Berita itu dibantah Pemerintah Vanuatu.