JAYAPURA, KOMPAS — Kelompok Kriminal Bersenjata yang bersembunyi di sejumlah wilayah di Papua menguasai sekitar 100 pucuk senjata. Pada umumnya, senjata dibeli melalui daerah pesisir dan perbatasan dengan Papua Niugini.
Pelaksana Tugas Kepala Perwakilan Komnas HAM Wilayah Papua Frits Ramandey, Rabu (4/7/2018), menyampaikan hal itu berdasarkan hasil penelitian pihaknya di Jayapura.
Frits mengatakan, pembelian senjata dan amunisi dari Papua Niugini memanfaatkan area perbatasan yang minim pengawasan.
Sementara itu, wilayah pesisir di Papua yang sering kali menjadi lokasi transaksi senjata dan amunisi antara lain di Sorong, Papua Barat, dan Nabire di Papua.
”Aparat keamanan harus lebih memperkuat pengawasan di daerah perbatasan antara Papua dan Papua Niugini. Sementara di daerah pesisir rawan masuk senjata dari daerah bekas konflik, yakni Ambon,” kata Frits.
Ia mengungkapkan, pihak KKB disinyalir mendapatkan dana dari para pengusaha yang melaksanakan proyek di daerah-daerah rawan konflik.
”Biasanya, kontraktor memberikan uang kepada kelompok kriminal bersenjata agar proyek mereka berjalan aman,” ungkapnya.
Ia berharap, dengan adanya pengawasan yang lebih ketat, konflik bersenjata antara aparat hukum dan KKB Papua bisa dieliminasi.
Kapolda Papua Irjen Boy Rafli Amar ketika dikonfirmasi mengakui, pihaknya selama ini berhasil menangkap pelaku yang memasok senjata ke KKB.
”Informasi dari Komnas HAM akan ditelusuri. Kami akan meningkatkan pengawasan di daerah perbatasan dan pesisir Papua untuk menghentikan pasokan senjata dan amunisi bagi kelompok itu,” kata Boy.
Data Polda Papua menunjukkan, total 30 polisi tewas dan 57 polisi mengalami cedera akibat serangan KKB sejak 2008 hingga 2018.
Sementara warga sipil yang tewas ditembak kelompok kriminal bersenjata ada 78 orang dan 117 orang lainnya mengalami luka-luka.