Para Bintang Tanpa Mahkota dalam Sejarah Piala Dunia
Oleh
Mohamad Final Daeng
·4 menit baca
Kegagalan Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo merengkuh Piala Dunia, setidaknya sejauh ini, bukanlah yang pertama dialami oleh pemain megabintang. Sejarah telah mencatat sejumlah pemain terbaik di berbagai era yang upayanya juga kandas untuk mengangkat trofi idaman setiap pesepak bola itu. Berikut adalah tiga dari beberapa nama besar penghuni daftar tersebut:
Ferenc Puskas
Pada tahun 1950-an, Hongaria adalah skuad timnas terbaik di dunia dengan pemain andalannya, Ferenc Puskas. Mereka pun mengikuti Piala Dunia 1954 di Swiss dengan kepercayaan diri tinggi dan diunggulkan merebut trofi Jules Rimet untuk pertama kali.
Puskas, yang berumur 27 tahun, membawa Hongaria menjadi tim tak terkalahkan dalam empat tahun terakhir saat datang ke Swiss. Kreativitas, kontrol, dan tendangan geledek adalah kekuatan terbesarnya.
Penampilan Hongaria pun meyakinkan, yakni membantai Korea Selatan 9-0 dan Jerman Barat 8-3 di penyisihan grup, menggulung Brasil 4-2 di perempat final, dan mematahkan Uruguay 4-2 di semifinal. Pada laga penentuan melawan Jerman Barat, Hongaria yang telah unggul dua gol, salah satunya disumbangkan Puskas, harus terjungkal dan berbalik kalah 2-3. Hingga saat ini, partai final di Kota Bern itu dikenang sebagai ”Miracle of Bern” atau keajaiban Bern.
Puskas kemudian kembali sekali lagi ke Piala Dunia 1962, tapi dengan seragam timnas Spanyol menyusul hijrahnya dia ke negeri itu pascarevolusi Hongaria 1956. Namun, Spanyol tersingkir di penyisihan grup. Setelah itu, Puskas mengubur mimpinya untuk menyabet gelar juara dunia.
Di level klub, prestasi Puskas lebih moncer. Bergabung dengan Real Madrid pada 1958, dia merebut deretan gelar domestik maupun Eropa. Selama 8 tahun bermain untuk ”Los Blancos”, Puskas tampil sebanyak 180 laga dan mencetak 156 gol. Pada 2009, Puskas diabadikan FIFA untuk nama penghargaan gol terindah setiap tahun.
Johan Cruyff
Seperti Hongaria, timnas Belanda pada Piala Dunia 1974 di Jerman Barat adalah skuad bertabur bintang dan menjadi favorit kuat juara. Selain memiliki materi pemain berkualitas tinggi dan merata, kubu ”Oranye” juga mengusung strategi revolusioner sepak bola, yakni ”Total Football”.
Bintang paling terang dari deretan bintang Belanda itu adalah Johan Cruyff, penyandang tiga gelar Ballon d’Or tahun 1971, 1973, dan 1974. Pemain kurus itu adalah otak permainan tim dengan visi brilian dan operan-operan akurat. Ketajamannya di kotak penalti pun mumpuni.
Keterampilan olah bolanya juga setingkat di atas rata-rata pemain pada masa itu. Salah satu yang paling dikenang dan kerap ditiru hingga kini adalah saat Belanda melawan Swedia di penyisihan grup. Saat itu, Cruyff menerima umpan lambung di sisi kanan kotak penalti Swedia.
Dikawal ketat bek Jan Olsson, dia mengontrol bola dan seolah akan menendangnya dengan kaki kanan. Namun, bola ternyata hanya dicuil sambil badannya meliuk berbalik untuk mengecoh Olsson yang kemudian mati langkah. Saking indahnya gerakan itu, sampai-sampai diberi nama ”Putaran Cruyff”.
Akan tetapi, semua kehebatan Cruyff bersama tim ”Oranye” itu tidak cukup membawanya meraih Piala Dunia. Pada partai final, Belanda ditaklukkan tuan rumah Jerman Barat dengan skor 1-2. Dia tidak memperkuat Belanda pada Piala Dunia 1978 karena telah menyatakan pensiun dari timnas pada 1977.
Zico
Brasil adalah gudang pemain-pemain berbakat pemenang Piala Dunia. Namun, ada satu nama besar negeri itu yang nihil gelar paling prestisius tersebut di lemari trofinya. Dia adalah Zico.
Julukan ”Pele Putih” yang disematkan kepadanya rasanya sudah cukup untuk menggambarkan kehebatan pemain satu ini. Gelandang serang itu memiliki kemampuan komplet, mulai dari mengatur serangan, memberi umpan, mengambil tendangan bebas, hingga mencetak gol.
Pemain bernama lengkap Arthur Antunes Coimbra itu tampil membela tim ”Samba” di tiga Piala Dunia, yakni edisi 1978, 1982, dan 1986. Dari ketiganya, perhelatan 1982 di Spanyol dianggap menjadi peluang terbesar bagi Zico untuk mencium trofi.
Kala itu, Brasil adalah tim yang dinilai memiliki lini serangan terbaik dengan Zico, yang berusia 29 tahun, sebagai motor utamanya. Namun, langkah Zico dan kawan-kawan dihentikan oleh Italia pada babak kedua penyisihan grup. Tim ”Azzurri” kemudian terus melaju hingga akhirnya keluar sebagai juara. (AP)