Kisah Kampung Tengara Kota Jakarta
Sebelum menjadi megapolitan seperti saat ini, Jakarta adalah sebuah kampung besar. Tahun 1960-an, misalnya, kampung di Jakarta lebih mendominasi dibandingkan kota. Saat itu, kawasan yang bisa disebut ”kota” hanyalah Djakarta Kota atau Kota Tua, Gambir, Meester Cornelis atau sekitar Stasiun Jatinegara-Jalan Otista, Menteng, dan Kebayoran Baru.
Sementara kawasan yang disebut ”kampung” ditandai dengan permukiman dengan bangunan semipermanen dan jalanan becek di kala hujan. Sejalan dengan perkembangan Ibu Kota, kawasan perkampungan ini berubah wajah, seperti yang terlihat di Kampung Cengkareng. Kawasan yang dulu berupa hutan alang-alang itu kini berubah menjadi kawasan padat penduduk dan kawasan industri pengolahan plastik, bahan bekas, kimia, dan garmen di Jakarta Barat.
Begitu juga kawasan di sekitar Kampung Tangki, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat. Kawasan yang dulu udik itu kini berubah menjadi pusat hiburan malam, serta pusat grosir yang menggeliat di Jakarta.
”Sejak awal abad ke-20, tidak semua kampung di Jakarta ditandai dengan ciri adanya pertanian. Ciri kampungnya justru perpaduan antara kota dan kampung (rural urban),” ujar antropolog dan sejarawan Candrian Attahiyat dalam acara ”Wall of Fame” Sejarah Betawi di Pasar Seni Ancol, Minggu (1/7/2018).
Menurut Candrian, salah satu kampung tertua di Jakarta adalah Kampung Muka yang berada di luar benteng Kota Batavia yang sekarang menjadi kawasan Kota Tua. Candrian tidak tahu pasti asal-usul penamaan Kampung Muka tersebut. Namun, bisa dipastikan kampung tersebut dihuni oleh orang lokal.
Pada zaman itu, Belanda sangat rasis dan diskriminatif karena tidak memperbolehkan warga lokal tinggal di dalam benteng. Bahkan, permukiman di luar benteng juga diklasifikasikan sebagai kawasan bangsa Eropa, Arab, dan China.
Selain Kampung Muka, Candrian menyebutkan kampung tua di Jakarta adalah Kampong Tanke atau yang sekarang disebut Kelurahan Tangki. Kampung Tangki diduga sudah ada sejak tahun 1823.
Nama itu dipilih karena keberadaan barak militer tentara Belanda yang disebut tangsi. Perubahan huruf dan ejaan baru terlihat pada tahun 1914. Kala itu, ejaan kampung ditulis dengan Tanki. Tahun 1923, lalu ditulis menjadi Tangki.
”Lalu, kawasan itu dikenal dengan kampung artis pada tahun 1950-an karena banyak artis yang tinggal di situ, seperti Laila Sari dan Tan Tjeng Bok. Warga pun lalu menamai kampung dengan sebutan Tangkiwood,” ujar Candrian.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Jakarta semakin berkembang karena menjadi ibu kota negara. Kebun, sawah, dan rawa-rawa disulap menjadi permukiman atau kampung kota. Namun, jauh sebelum itu, pemerintah kolonial Belanda sebenarnya juga sudah memiliki program perbaikan kampung yang disebut kampoengverbetering pada tahun 1934.
Peta Batavia tahun 1897 menyebutkan, posisi kampung berada di bawah wijk atau setara kelurahan. Di atas wijk juga ada onderdistrict yang setara dengan kecamatan, dan district yang setara dengan kota administrasi.
Di peta Batavia tahun 1897-1910 tercantum lebih dari 100 wijk, di mana masing-masing wijk terdapat 2 sampai 5 kampung. Pada masa itu diperkirakan terdapat 200-500 kampung.
Luas wilayah Batavia pun terus berkembang ke arah selatan. Tahun 1905, Batavia hanya seluas 125 hektar dan terdiri dari Distrik Batavia dan Weltevreden.
Lalu, tahun 1926, wilayah administrasi Batavia diperluas menjadi 182 hektar dengan menggabungkan wilayah Meester Cornelis (Jatinegara). Meester Cornelis memiliki 80-90 kampung.
Pada tahun 1960, wilayah Jakarta kembali mengalami pemekaran dengan memasukkan Kepulauan Seribu, Cengkareng, Kebayoran, Kebon Jeruk, Kebayoran Ilir, Kebayoran Udik, Pulogadung, dan Cilincing.
Toponimi kampung
Di balik keberadaan kampung kota di Jakarta, asal-usul penamaan kampung tersebut juga menarik untuk ditelisik. Rata-rata, nama kampung di Jakarta dibuat dari tengara yang paling mencolok, misalnya dari nama-nama tanaman dan kontur tanah.
Kampung Krukut di Taman Sari, Jakarta Barat, misalnya, diambil dari nama sejenis rumput atau tumbuhan kecil di tepi jalan dan parit. Kampung Krukut sudah ada sejak akhir abad ke-18. Krukut sudah ada di dalam peta Batavia tahun 1826 dan 1897.
Selain itu, nama kampung juga kerap diambil dari kontur wilayah. Budayawan Betawi Yahya Andi Saputra menyebutkan, nama-nama kampung di Jakarta banyak diambil dari penanda kontur tanah, seperti tanjung yang berarti semenanjung, poncol atau dataran tinggi, legok yang berarti dataran rendah, dan Ancol yang berarti tanah rendah.
”Nama-nama itu kemudian diformalkan saat Belanda membuat pengukuran tanah dan peta. Selanjutnya, setelah Indonesia merdeka menjadi catatan resmi,” kata Yahya.
Candrian menambahkan, saat memberikan nama wilayah, orang zaman dulu juga sudah memikirkan supaya nama tersebut menjadi tengara serta menghindarkan penghuninya dari malapetaka. Kawasan Legok di bantaran Kali Ciliwung yang saat ini menjadi wilayah Bidara Cina, misalnya, memang dinamai sesuai kontur tanahnya yang menjorok ke sungai.
Akibatnya, saat terjadi hujan lebat, kawasan itu memang kerap direndam banjir. Namun, saat ini nama kawasan sudah berubah sesuai dengan perkembangan kota Jakarta.
”Sebenarnya itu, kan, juga bisa sebagai peringatan bagi orang yang akan tinggal di situ bahwa kawasan itu memang dataran rendah yang rawan banjir,” kata Candrian.
Seiring dengan pengembangan kota, kampung-kampung di Jakarta juga hilang karena program penggusuran untuk dijadikan fasilitas kota atau pembangunan obyek vital.
Di sekitar Senayan yang saat ini menjadi kompleks Gelora Bung Karno (GBK), misalnya, ada kampung bernama Petunduhan dan Pecandran. Kini, kampung tersebut sudah hilang. Sebagian penduduknya dipindahkan ke Tebet, Jakarta Selatan.
”Pondok Indah itu dulu namanya juga Pondok Pinang. Karena alasan pemasaran dari pengembang yang membangun real estate, nama lokalnya hilang dan berubah,” ujar Yahya.
Selain itu, beberapa nama kampung juga berkaitan dengan peristiwa sejarah atau nama orang terkenal, misalnya Mataraman, Rawabangke, dan Meester Cornelis.
Asal-usul nama 267 kampung di Jakarta ini termasuk ikut dipamerkan dalam acara ”Wall of Frame” Sejarah Betawi yang merupakan kegiatan Kampung Betawi Ancol yang diluncurkan Wakil Gubernur Sandiaga Uno pada 13 Juni 2018. Pameran dimotori oleh Roni Adi dari Sikumbang Tenabang, Candrian Attahiyat, Yahya Andi Saputra, Asep Setiawan, dan Rachmad Sadeli.
Pameran tidak hanya menampilkan deskripsi singkat toponimi kampung, tetapi juga menyertakan foto dan video Jakarta zaman dulu. Setiap kelurahan ditampilkan dalam satu bingkai foto dan deskripsi berbeda.
Pameran juga menampilkan peta Jakarta sejak tahun 1740, 1826, 1840, 1914, 1923, 1947, 1959, dan 2015. Sayang, foto-foto Jakarta yang ditampilkan dalam pameran toponimi kampung itu tidak dilengkapi dengan keterangan foto (caption). Pameran akan berlangsung pada 14 Juni-19 Agustus 2018 di gedung North Art Space (NAS) Pasar Seni Ancol.
Asep Setiawan dari Humas Wall of Frame Betawi mengatakan, menurut rencana, tim penyusun pameran tersebut akan mematangkan data toponimi kampung untuk dibukukan. Tim merasa selama ini buku-buku dan data toponimi kampung kota Jakarta banyak yang kontroversial. Oleh karena itu, tim ingin membuat buku yang bisa menjadi rujukan resmi pembaca.
”Menurut rencana, kami akan mengumpulkan data ulang selama dua bulan untuk penyusunan buku toponimi kampung-kampung di Jakarta,” kata Asep.
Memori kolektif
Salah satu penggagas acara, Yahya Andi Saputra, menyadari arti penting pameran tersebut. Acara ini sengaja digelar untuk merawat ingatan kolektif warga Jakarta tentang asal-usul wilayahnya. Tim penyusun bekerja keras untuk memadukan cerita-cerita rakyat dengan data peta-peta lama dan sumber-sumber tertulis lainnya.
Memori kolektif ini perlu dirawat karena Jakarta merupakan kota dengan perkembangan yang sangat pesat. Kebijakan kota, seperti penggusuran warga dan pembangunan rumah susun, misalnya, banyak mengubah wajah kota. Dengan arsip dan dokumentasi yang baik soal kampung kota, diharapkan memori tentang kampung ini tidak hilang ditelan zaman.
”Kota selalu bergerak, dan suatu saat pasti akan ada perubahan. Kami mencoba merawat yang masih ada, sebelum semuanya tertutup dengan modernisasi,” kata Yahya.
Yahya dan Candrian sepakat, perubahan pesat di ibu kota sebaiknya jangan sampai mengendurkan semangat toleransi, kekerabatan, dan kehidupan warga kampung yang nyaman dan tenteram.
Toponimi atau asal-usul nama kampung bukanlah semata romantisisme masa lalu, melainkan juga pijakan masa depan. Tujuannya, supaya masyarakat semakin arif dan bijak dalam menggunakan data sejarah yang ada. Lebih luas lagi, kesalahan-kesalahan yang ada di masa lalu tidak lagi terulang di masa depan.
”Belanda dulu mengotak-ngotakkan penduduk Batavia berdasarkan suku dan bangsa dengan membangun benteng yang tinggi. Setelah merdeka, Jakarta menjadi melting pot yang menunjukkan bahwa masyarakatnya toleran dan damai dalam kultur yang beragam. Jangan sampai toleransi yang kuat itu justru luntur karena pengaruh perkembangan zaman,” kata Candrian.