Geliat Penerobos Langit dan Penantang Maut
Di balik rimba beton pencakar langit dan menara tinggi yang menjadi tempat penghidupan warga ibu kota Jakarta, ada para pekerja yang berjibaku untuk merawatnya. Mereka bekerja menerobos langit dan menantang maut.
Hari itu, jarum jam menunjukkan pukul 09.00 WIB. Matahari terus bergerak ke puncaknya. Sarono (20) telah mengenakan pelindung diri di atap gedung 29 lantai di area perkantoran dan apartemen L’Avenue, Jakarta Selatan.
Setelah mengenakan sabuk pengaman tubuh (body harness) dan helm, Sarono menggunakan tali (kernmantle) untuk kegiatan luar ruang. Ia dengan cekatan menjejak dan merayapi sisi luar gedung berbekal peralatan kebersihan, seperti lap dan pembersih kaca, yang diletakkan dalam wadah plastik berukuran lima liter.
Tanpa khawatir, dia bergelantungan di ketinggian tak kurang dari 70 meter untuk membersihkan kaca dan dinding luar gedung. Keringat bercucuran di bawah terik matahari bersuhu 32 derajat celsius siang itu.
Sarono bersama empat rekannya merupakan pekerja akses tali dari PT Palmarum, perusahaan jasa kebersihan dinding dan kaca gedung-gedung pencakar langit. Mereka biasa membersihkan gedung-gedung tinggi dengan menggunakan tali sebagai medium untuk memanjat dan menuruni gedung.
Tak sedikit orang yang berdebar-debar, ngeri, khawatir, dan takut melihat mereka merayap bagai binatang melata dan bergelantungan di antara deretan bangunan tinggi. Namun, banyak orang, termasuk para pegawai atau penghuni gedung itu, yang mungkin tak peduli.
Berbagai tantangan mereka hadapi saat membersihkan sudut-sudut yang sulit dijangkau. Entah itu angin kencang, panas terik, atau rasa haus yang datang sekonyong-konyong menjadi keseharian mereka. Mereka harus bergerak agar selamat dari ancaman maut karena keluarga menunggu mereka agar pulang dengan selamat.
”Kalau medannya ekstrem, misalnya bentuk gedung agak terlalu ke dalam, saya harus menahan (sakit pada) perut saat bergelantungan,” ujar Sarono.
Sesekali Sarono menyeka keringatnya sembari menempel di dinding gedung. Seorang rekannya yang berada di atap mengawasi cuaca dan kondisi alat pengaman yang dipakai Sarono.
Enam hari dalam sepekan Sarono dan empat rekannya bertaruh nyawa untuk membersihkan bagian luar gedung-gedung pencakar langit di Kota Metropolitan Jakarta. Mereka bekerja setiap pukul 08.00-16.00. Sudah hampir setahun Sarono dan para pekerja PT Palmarum membersihkan L’Avenue.
Kompleks gedung pencakar langit itu dirawat setiap hari secara bergantian. Membersihkan satu putaran gedung oleh lima pekerja membutuhkan waktu sebulan. Target itu sudah memperhitungkan terjadinya hujan dan angin kencang, di mana para pekerja dilarang turun.
Tidak hanya di gedung-gedung pencakar langit, bekerja di menara telekomunikasi pun membutuhkan keberanian dan tantangan yang sama. Tidak hanya dengan keberanian mereka mengalahkan beragam tantangan itu, tetapi perusahaan juga menuntut sertifikasi kerja, memiliki keterampilan, dan kompetensi khusus atas mereka.
Jaka Malik (35), petugas layanan pemeliharaan PT Adyawinsa, rekanan PT Huawei, mengakui, agar bisa bekerja di perusahaan rekanannya itu, ia diwajibkan mengikuti pelatihan selama satu pekan sebelum akhirnya tersertifikasi dan memiliki lisensi kerja di menara tinggi. Begitu juga halnya Sarono dan rekan-rekannya.
Dia bertugas memanjat menara telekomunikasi milik PT XL Axiata untuk merawat dan memperbaiki perangkat secara rutin. ”Saya diminta mengikuti pelatihan. Katanya kalau enggak ada sertifikat, saya enggak boleh ikut bergabung,” ucap Jaka, di sela-sela perawatan menara telekomunikasi XL Axiata di Pasar Baru, Jakarta, Senin (21/5/2018). XL Axiata telah membangun 101.000 menara BTS dengan tinggi antara 30 meter dan 100 meter.
Kecelakaan
Keamanan dan keselamatan kerja bagi mereka yang hidupnya bertumpu pada proyek di ketinggian menjadi perhatian khusus bagi perusahaan penyedia pekerja di ketinggian hingga pemerintah. Hal itu mengingat masih tingginya angka kecelakaan kerja di ketinggian.
Data BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan, pada 2017 terdapat 123.041 kasus kecelakaan kerja dengan 3.173 orang tewas. Angka itu meningkat dibandingkan pada 2016, yakni 101.367 kasus dengan 2.382 orang tewas.
Direktur Pengawasan Norma Keselamatan Kerja dan Kesehatan Kerja (K3) Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 Herman Prakoso Hidayat mengatakan, kasus kecelakaan dari ketinggian mencapai 30 persen dari kasus kecelakaan kerja fatal. Penyumbang kasus kecelakaan terbesar adalah dari sektor konstruksi, telekomunikasi, dan manufaktur.
Pemicu tingginya kecelakaan kerja di ketinggian antara lain akibat rendahnya kesadaran pekerja mengenakan alat pelindung diri, sementara pembangunan gedung tinggi semakin masif. Kurangnya kesadaran disebabkan banyak pekerja tak berpengalaman. Selain itu, jumlah pengawas ketenagakerjaan spesialis K3 bidang ketinggian masih terbatas, yakni 58 orang yang tersebar di 16 provinsi.
”Sertifikasi dan lisensi kerja harus dijadikan persyaratan karena bagaimanapun para pekerja ditunggu keluarga (untuk pulang dengan selamat),” kata Herman merujuk Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 9 Tahun 2016 tentang K3 dalam Pekerjaan di Ketinggian.
Keselamatan adalah prioritas dalam bekerja di ketinggian.