JAKARTA, KOMPAS — Pengarahan kepada guru-guru mengenai konteks kompetensi inti pertama spiritual dalam Kurikulum 2013 perlu disebarluaskan. Sejauh ini, kompetensi tersebut menimbulkan multitafsir sehingga memberi celah bagi ideologi ekstrem untuk masuk ke pendidikan dasar dan menengah.
”Kompetensi inti pertama dalam Kurikulum 2013 dan revisinya menyebutkan bahwa siswa harus memiliki spiritualitas yang baik,” kata peneliti dari Kemitraan, Suratno, di Jakarta, Jumat (29/6/2018). Ia menjadi narasumber dalam diskusi hasil penelitian terkait perkembangan ideologi ekstrem di SMP dan SMA.
Makna spiritualitas tidak dijabarkan secara jelas. Umumnya penjelasan di buku pendamping guru sangat normatif, yaitu percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Akibatnya, definisi spiritualitas mengalami kerancuan.
Suratno menjelaskan, guru-guru umumnya kebingungan menafsirkan spiritualitas. Mereka keliru mengartikannya sebagai ritual dan fanatisme beragama. Bahkan, dalam rencana pembelajaran mata pelajaran yang umum pun tertulis visi dan misi untuk menciptakan siswa yang tawakal.
”Multitafsir ini menjadi celah bagi ideologi ekstrem untuk masuk. Guru-guru yang terpapar ekstremisme menurunkan prinsip tersebut kepada siswa,” kata Suratno yang juga dosen filsafat dan agama di Universitas Paramadina.
Spiritualitas menjadi pembelajaran yang sering kali bersifat primordialis dan intoleran kepada agama dan kepercayaan lain, terutama minoritas. Bahkan, juga menganggap bahwa kekerasan diperbolehkan menjadi jalan keluar terhadap suatu permasalahan.
Hal ini semakin intensif berkembang karena semua mata pelajaran memasukkan konsep spiritualitas yang keliru tersebut. Akibatnya, siswa semakin rentan terpapar ideologi ekstrem.
Pancasila
Ketua Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Sugeng Bayu Wahyono memaparkan, sejatinya spiritualitas yang dimaksud dalam kurikulum ialah berdasarkan Pancasila. Tujuannya menjadikan siswa individu yang menghargai kemajemukan Indonesia, persatuan, dan berketuhanan.
Menurut dia, pemerintah hendaknya membuat pedoman penerapan kompetensi inti spiritualitas kepada guru-guru. ”Jangan sampai kebablasan kekeliruan penafsiran spiritualitas ke dalam praktik agama yang sebatas formalitas atau malah menjadi pandangan keagamaan yang sempit,” katanya.
Di saat yang bersamaan, juga bangkitkan lagi studi Pancasila. Menurut Bayu, pembelajaran Pancasila mengalami penurunan yang drastis semenjak reformasi 1998.
Pengemasan studi Pancasila menggunakan isu-isu sosial terkini yang dibahas secara kritis. Cara ini berbeda dengan pendidikan Pancasila di zaman Orde Baru yang kaku dan normatif.
Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Awaluddin Tjalla mengatakan, aspek spritual selalu mengajarkan sikap toleran, saling menghormati, saling menghargai, empati, simpati, saling tolong-menolong, kebersamaan, dan sikap-sikap positif lain.
Hal itu tampak pada kompetensi-kompetensi dasar yang dikembangkan dalam K-13. ”Karena itu, berkenaan dengan penilaian di sekolah terkait karakter yang dibangun siswa, salah satu aspek dari penguatan pendidikan karakter, yaitu religiositas, menjadi acuan dalam penilaian untuk dikembangkan lebih jauh pada diri individu,” ujarnya.