GM Sudarta dan Celetukan Oom Pasikom yang Menyegarkan
GM Sudarta, karikaturis harian Kompas, akan terus dikenang, terutama lewat Oom Pasikom. Metamorfose tampilan karakter itu, yang setia menyapa pembaca koran selama lebih dari 50 tahun, memperlihatkan perjalanan kreatif yang asyik. Begitu pula gaya kritiknya yang dibungkus dalam celetukan yang cerdas, menghibur, menggelitik, sekaligus menyegarkan.
GM Sudarta lahir di Klaten, Jawa Tengah, 20 September 1945. Dia bergabung dengan harian Kompas tahun 1967 dan dipercaya sebagai pengisi tetap karikatur di koran tersebut. Seniman itu meninggal dalam usia 73 tahun di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (30/6/2018), sekitar pukul 08.25. Jenazah disemayamkan di Rumah Duka Sinar Kasih, Batu Tulis, Bogor. Sesuai pesannya, almarhum direncanakan dikremasi di RS Sentra Medika, Cibinong, Senin pagi.
Begitu kabar duka itu tersebar di media sosial pada Sabtu siang, warga internet serta-merta mengucapkan belasungkawa. Sebagian menyertakan gambar-gambar karikatur Oom Pasikom. Facebook, Twitter, dan Instagram pun diwarnai penampilan karakter itu.
Respons yang tak berlebihan. Publik memang lebih mengenal GM Sudarta lewat karakter karikatur itu. Mereka mengingat Oom Pasikom dalam penampilan khas: lelaki dewasa yang mengenakan jas tambalan, bertopi pet motif kotak-kotak, bermuka bulat, dan sorot mata yang menggemaskan.
Oom Pasikom hampir selalu muncul dalam karya-karya Sudarta. Karakter ini bisa nongol di mana saja dalam peran beragam: pengusaha, politikus, atlet, seniman, rakyat jelata, ayah, ataupun seorang suami yang sayang istri. Tentu saja, Oom Pasikom menarik terutama karena lontaran kritik, celoteh, komentar, ataupun gumaman yang lucu, cerdas, sekaligus nyelekit. Tokoh ini bisa mengomentari apa saja yang tengah menjadi isu aktual, mulai dari masalah politik, pemilu, korupsi, kasus kriminal, sampai banjir.
Dari politik sampai banjir
Isu politik kerap dikomentari Sudarta. Sejak 1967 sampai 2018, banyak karikatur Oom Pasikom yang mengulik soal ini. Kompas terbitan 23 Juli 2011, contohnya, menampilkan gambar badak bercula satu yang tengah berdiri sedih. Dengan air mata berlelehan, binatang besar itu mengadu kepada Oom Pasikom yang duduk di depannya. ”Saya sudah bukan binatang langka lagi…. Banyak pejabat sudah bermuka seperti saya!” kata sang badak. Oom Pasikom hanya bisa kaget dengan mata melotot, sementara bocah di belakangnya tersenyum simpul.
Karya ini menyindir praktik korupsi yang kian marak di kalangan para pejabat di Indonesia. Sebelumnya diberitakan, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti, berkomentar, ”Pelaku korupsi sudah bermuka badak. Mereka tidak malu atau takut melakukan korupsi.”
Pada 7 Oktober 2006, Kompas menerbitkan karikatur tentang misteri pembunuhan Munir yang belum juga terungkap. Karya ini memperlihatkan seorang bocah, yang mengenakan kaus bergambar almarhum Munir, bernyanyi lantang. ”Racun di tangan kananku… Misteri di tangan kiriku,” katanya. Di belakang, Oom Pasikom lagi asyik memetik gitar sambil menyengir aneh.
Sudarta juga sering menyoroti banjir, terutama di Jakarta, dengan segala persoalannya. Harian Kompas, 18 Februari 1984, misalnya, menerbitkan karikatur Oom Pasikom bersama istri dan anaknya lagi duduk bertiga di atap rumah yang menyembul di tengah hamparan air. Sambil memandangi genangan air berwarna hitam, si bocah berkepala botak itu nyeletuk, ”Kita sudah SSB, kan, Pak? Swasembada Banjir”. Mendengar komentar itu, sang ayah hanya bisa tersenyum kecut.
Karikatur banjir di Kompas, 17 Januari 1970, juga dramatis. Saat itu, Oom Pasikom digambarkan lagi asyik berjalan menembus hujan deras. Ia menerabas banjir setinggi hampir selutut. Lalu, tiba-tiba, wuss… sosok itu hilang. Hanya tersisa pet motif kotak-kotak yang melayang di udara. Oh, rupanya tubuhnya hilang terperosok dalam got yang tertutup genangan air.
Politik dan banjir sekadar contoh yang menunjukkan bagaimana Oom Pasikom sangat luwes dalam mengemas dan mengulik isu yang sedang tren. Lewat karakter itu, Sudarta menawarkan pendekatan lain dalam kritik, yaitu cara yang lebih mengundang senyum.
Bagi dia, karikatur itu sebaiknya menerbitkan tiga jenis senyum. Pertama, karya itu mesti membuat senyum orang atau lembaga yang dikritik meski mungkin senyumnya pahit. Kedua, senyum juga diharapkan muncul dari masyarakat yang merasa terwakili aspirasinya melalui karya itu. Ketiga, penting juga sang kartunis tersenyum karena kehidupannya tetap aman dan karyanya tidak menimbulkan petaka bagi dirinya.
“Banyak orang tidak suka dikritik langsung. Kalau karikatur terlalu tajam, malah tidak dilihat. Lebih baik membuat gambar yang mengundang senyum, tapi mengena. Moga-moga yang dikritik juga mau merasa.”
Begitu penjelasan Sudarta sebelum pameran 50 Tahun Kesaksian Oom Pasikom di Bentara Budaya Jakarta, Mei 2017.
Rupanya pendekatan itu disukai publik. Buktinya, karikatur Sudarta termasuk salah satu sajian yang ditunggu-tunggu di harian Kompas. Pada awalnya, karya-karya itu terbit rutin di halaman 3 atau 4. Belakangan, muncul di halaman 6 setiap pekan pada hari Sabtu.
Saking populernya, Oom Pasikom pernah diangkat menjadi film di layar lebar dan di televisi. Film Oom Pasikom-Parodi Ibukota diproduksi tahun 1990 dengan sutradara Chaerul Umam dan dibintangi Didi Petet, Lenny Marlina, dan Desy Ratnasari. Di televisi, Oom Pasikom muncul sebagai sinetrom yang tayang di TV7 tahun 2004. Tokoh ini diperankan Butet Kartaredjasa yang ditemani Meriam Bellina, di bawah arahan sutradara Dedi Setiadi.
Saat mendengar wafatnya GM Sudarta, Butet serta-merta posting ucapan dukacita dan foto dirinya saat memerankan Oom Pasikom di serial televisi.
Oom Pasikom pernah dibuat menjadi sinetron yang tayang di TV7 tahun 2004.
Metamorfose Oom Pasikom
Bagaimana awal mula munculnya karakter itu? Dalam buku Berteriak dalam Bisikan (Penerbit Buku Kompas, 2018), GM Sudarta menceritakan, karakter itu muncul secara tidak sengaja. Saat kecil, dia dikelilingi banyak kartun dan komik, salah satunya komik strip Amerika, Blondie, karya kartunis Chic Young tahun 1930-an. Blondie menyuguhkan karakter keluarga muda.
Saat bekerja di Kompas tahun 1967, GM Sudarta pun mencoba membuat karakter serupa. Dia mereka sosok bernama Oom Pasikom yang tampil khas dengan pet kotak-kotak. ”Oom Pasikom itu menjadi alter ego saya. Saya bisa memasuki dunia mana saja, bisa meledek siapa saja, bahkan seorang presiden,” catatnya dalam buku itu.
Ada juga istri Oom Pasikom, yang dikesankan sebagai perempunan konsumtif, suka pamer kemewahan. Lalu, dibuat juga anaknya. Masih muda, lugu, berasal dari generasi baru, bocah itu dilukiskan gampang berpendapat meski sering kurang dipikirkan. Oom Pasikom, istri, dan anaknya tampil dalam berbagai adegan yang saling melengkapi.
Jika diperhatikan, tampilan visual Oom Pasikom berubah seiring kemahiran visual Sudarta, perkembangan gagasan, dan kemajuan teknologi. Penampilan perdana pada 12 Juli 1967, sosok karakter itu masih sederhana. Tubuhnya kurus. Goresannya juga bersahaja dengan anatomi juga masih kurang sempurna.
Tahun 1970-an, Oom Pasikom sedikit lebih rapi. Kadang dia pakai syal kotak-kotak. Namun, goresannya belum terlalu jauh dibandingkan dengan sebelumnya. Hanya saja, di tahun 1975, kadang tubuhnya agak lebih berisi.
Memasuki tahun 1980-an, bentuk Oom Pasikom lebih gemuk. Goresannya lebih mantap dan tegas. Sosoknya kian matang pada tahun 1990-an. Jas yang biasanya putih kerap diarsir dengan warna abu-abu. Pendekatan ini dilanjutkan pada tahun 2000-an, bahkan kemudian terasa ada jejak-jejak sentuhan komputer.
Pergeseran itu diakui Sudarta sendiri. ”Dengan kemajuan teknologi, Oom Pasikom juga ikut berkembang, cara mengerjakannya juga berkembang. Sampai akhir hayat saya sempat memakai komputer untuk membantu pewarnaan dengan gradasi atau keperluan lainnya,” katanya.
Masih relevan
Kesehatan GM Sudarta menurun, terutama sejak awal tahun 2018. Dia pernah jatuh di kamar mandi sehingga harus menjalani operasi. Selama beberapa bulan terakhir ini, dia dirawat di rumah sakit di Bogor. Kondisi itu memaksanya beristirahat dari kerja membuat karikatur sebagaimana biasa.
Kondisi kurang sehat itu tidak lantas mematikan gairah kreatifnya. Dia masih sempat mengurus dan menerbitkan Berteriak dalam Bisikan (Penerbit Buku Kompas, 2018). Buku ini merangkum karya-karyanya yang terbit sejak di harian Kompas tahun 1967 sampai 2018. Karya itu dikelompokkan dalam beberapa tema, seperti politik, hukum, sosial-budaya, korupsi, teror kekerasan, ekonomi, pendidikan, pers, dan luar negeri. Di situ, dia juga menceritakan proses kreatifnya menjadi karikaturis.
Sebelumnya, Mei 2018, Sudarta sempat menggelar pameran 50 Tahun Kesaksian Oom Pasikom di Bentara Budaya Jakarta. Dia menghadiri pembukaan pameran dan mendemonstrasikan membuat karikatur di depan pengunjung. Dalam kesempatan itu, dia bercerita tentang kekaryaannya.
Pada ujung obrolan, dia mengaku terlalu besar harapan karya karikatur bisa mengubah keadaan. Banyak sudah karyanya yang mengkritik soal korupsi, banjir, atau kriminalitas. Tetapi, masalah itu selalu muncul.
Katanya, “Kadang saya merasa sia-sia. Sejak dulu saya mengkritik masalah korupsi, toh korupsi jalan terus. Menyoal banjir, tapi banjir terus datang.”
Barangkali pengakuan itu agak terlalu pesimistis. Toh, Oom Pasikom telanjur melekat di hati sebagian publik di Indonesia, bahkan karakter dan gaya bersuara karakter karikatur itu kian relevan untuk situasi sekarang.
Sekarang, revolusi teknologi mendorong banjir informasi lewat media sosial. Berbagai kabar, baik yang terverifikasi maupun tidak—katakanlah seperti hoaks, fitnah, ujaran kebencian, agitasi, provokasi, dan kampanye politik yang membabi buta—menyerbu kita setiap saat. Dunia kian riuh dan kita sering terengah-engah dalam kisaran informasi.
Dalam keriuhan yang ”kemrungsung” seperti ini, kita memerlukan celetukan-celetukan ala Oom Pasikom yang cerdas, menghibur, menggelitik, sekaligus menggugah. Tak selalu bisa mengubah keadaan memang, tetapi suara-suara semacam itu setidaknya dapat mengajak kita untuk ambil jarak dari pusaran masalah, menarik jeda, dan menyegarkan kembali akal sehat.