JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan usaha rintisan berbasis bisnis sosial berpotensi dikembangkan di Indonesia. Hal itu karena di negara berkembang seperti Indonesia, tingkat kesenjangan sosial tergolong tinggi. Melalui konsep bisnis sosial, kesenjangan sosial bisa dikurangi.
Pelaku bisnis dan investor yang tergabung dalam Bizcom Indonesia, Kamis (28/6/2018), berdiskusi di Jakarta membahas bisnis sosial. Kegiatan tersebut salah satunya bertujuan memperkenalkan usaha rintisan berbasis bisnis sosial kepada investor sehingga bisa membantu meningkatkan kesejahteraan.
Chief Executive Officer Bizcom Indonesia Sendra Wong mengatakan, usaha rintisan berbasis bisnis sosial berpotensi untuk dikembangkan di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Berdasarkan survei lembaga keuangan asal Swiss, Credit Suisse, pada 2016, Indonesia bersama Thailand masuk ke dalam empat besar negara dengan ketimpangan ekonomi terbesar.
Survei Credit Suisse itu menyebutkan, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Sementara itu, menurut data Badan Pusat Statistik pada rentang 2011 hingga 2016, rasio gini Indonesia konstan berada pada skor 0,41-0,40. Semakin tinggi skor rasio gini, berarti tingkat kesenjangan di suatu negara semakin besar.
”Di negara maju juga ada bisnis sosial. Namun, di sana tingkatannya sudah tinggi, sedangkan di negara berkembang baru memulai. Jadi, usaha rintisan berbasis bisnis sosial pasti bisa berkembang di Indonesia,” tutur Sendra.
Sendra merujuk pada usaha rintisan kitabisa.com yang telah berkembang. Usaha rintisan itu menjembatani donatur dengan pihak yang memerlukan dana.
Upaya itu bisa mengikis kesenjangan karena memberikan kesempatan kepada pihak yang memerlukan bantuan modal, tetapi tidak memiliki akses mengajukan pinjaman kepada lembaga keuangan.
Ada berbagai cara untuk menjadi pelaku bisnis sosial di Indonesia, misalnya bekerja sama dengan komunitas petani. Usaha rintisan Burgreens, misalnya, menggunakan sayuran organik dari petani untuk bahan-bahan membuat hamburger.
Pendiri Burgreens, Helga Angelina, menyampaikan, ia menetapkan konsep bisnis sosial kepada 200 petani dari sekitar 20 komunitas petani di Indonesia. Helga menyuplai bahan-bahan dasar untuk restorannya dari komunitas petani itu. Petani-petani tersebut berasal dari beberapa daerah, di antaranya Cipanas, Bogor, Banyuwangi, dan Bali.
Helga mengatakan, seiring dengan berkembangnya Burgreens, makin besar juga dampak sosial yang dirasakan oleh anggota komunitas petani.
”Ada yang menggunakan profitnya untuk menghidupi keluarganya, menyekolahkan anak-anaknya, hingga merekrut anak-anak SMA di daerah mereka untuk belajar menjadi petani organik,” tutur Helga.
Menurut Sendra, apa yang dilakukan Helga membuat profesi petani menjadi menarik lagi. Saat ini, minat generasi muda untuk berkecimpung di pertanian tidak terlalu tinggi. Mereka lebih senang bekerja di pabrik atau merantau ke kota besar yang jaminan penghasilannya lebih pasti.