Pahami Rekam Jejak Calon Kepala Daerah Sebelum Memilih
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat didorong untuk memahami rekam jejak dari calon kepala daerah yang akan bertarung pada pemilihan kepala daerah. Terlebih rekam jejak tersebut dinilai akan berpengaruh pada kinerja saat terpilih menjadi kepala daerah.
Memahami rekam jejak calon membantu pemilih memutuskan siapa kandidat terbaik yang seharusnya memimpin daerahnya. Masyarakat pun dinilai tak terlalu sulit mencari rekam jejak calon karena teknologi digital memungkinkan publik mengetahui apa yang sudah pernah dilakukan calon kepala daerah, termasuk prestasi hingga mungkin kasus-kasus hukum yang membelitnya.
Menurut Direktur Eksekutif Respublica Political Institute Benny Sabdo, pemilih perlu memahami rekam jejak calon kepala daerahnya. ”Masyarakat dapat memanfaatkan kemajuan teknologi untuk memantau rekam jejak seseorang,” kata Benny saat ditemui di Jakarta, Selasa (26/6/2018).
Menurut Benny, seorang calon pemimpin yang memiliki rekam jejak berpihak kepada rakyat akan bekerja untuk kesejahteraan sosial sesuai dengan undang-undang. Sebaliknya, seseorang yang memiliki rekam jejak buruk hanya akan memikirkan kepentingan dirinya sendiri, partai politik yang mengusung, dan pihak lain yang mendukung.
Benny menyoroti calon pemimpin yang menghalalkan segala cara, khususnya politik uang. Calon kepala daerah yang menggunakan politik uang dalam pilkada ketika terpilih akan berusaha mencari keuntungan untuk mengembalikan modalnya.
Pada pertengahan masa jabatannya, ia akan mengumpulkan modal untuk maju pada pilkada periode berikutnya. ”Keuntungan tersebut diperoleh melalui pengadaan proyek,” ujar Benny.
Ditemui secara terpisah, peneliti hukum dan kebijakan Transparency International Indonesia, Reza Syawawi, menambahkan, pemahaman rekam jejak akan membantu masyarakat dalam melihat kemampuan calon kepala daerah tersebut. ”Pemilih perlu mempertimbangkan integritas dari calon kepala daerah tersebut,” katanya.
Selain itu, calon pemimpin yang baik tidak akan terlibat dalam tindak pidana, khususnya korupsi. Reza menjelaskan, korupsi dapat menghambat laju pertumbuhan suatu daerah.
Salah satu bentuk korupsi yang dilakukan kepala daerah adalah mempersulit pada sistem birokrasi. Semakin banyak prosedur dalam birokrasi, perputaran ekonomi akan lambat. Dalam situasi tersebut, seorang kepala daerah akan memanfaatkan kekuasaannya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Visi misi
Reza menyarankan pemilih mencermati visi misi dari seorang calon kepala daerah. Visi misi tersebut menjadi kekuatan dari seorang kepala daerah dalam bekerja. Meskipun visi misi sering dipandang sekadar sebagai wacana belaka, masyarakat dapat menggunakan visi misi tersebut sebagai cara untuk mengawasi kinerja dari seorang kepala daerah.
Masyarakat dapat mencermati visi misi tersebut sebagai pegangan dalam bekerja atau hanya janji-janji belaka. Dalam hal ini, peran aktif masyarakat dibutuhkan sebagai fungsi kontrol. ”Masyarakat dapat protes apabila kinerja seorang kepala daerah tersebut tidak sesuai dengan visi misinya,” ucap Reza.
Menurut Benny, seorang calon kepala daerah yang memiliki rekam jejak baik akan berkampanye dengan mengajarkan pendidikan politik. Hal tersebut akan sulit terwujud apabila calon tersebut memiliki rekam jejak buruk. Mereka cenderung menggunakan politik uang dan isu SARA untuk memenangi pilkada.
Benny mengatakan, seorang calon kepala daerah yang menghalalkan segala cara akan berpikir bahwa suara rakyat mudah dibeli. Ia tidak akan berpikir untuk kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, seseorang yang menghargai nilai sebuah proses untuk menjadi pemimpin yang bijaksana akan mengutamakan kepentingan publik.
Dalam pemilihan langsung, rakyat berperan besar dalam menentukan pemimpin yang ideal. ”Kedaulatan ada di tangan rakyat,” ujar Benny.
Partai politik
Menurut Benny, partai politik berperan besar dalam melahirkan seorang pemimpin yang mengutamakan kepentingan publik. Sayangnya, partai politik kurang menghargai makna kaderisasi.
Apabila sebuah partai politik tidak mampu menghasilkan kader yang mumpuni, mereka telah gagal menjadi sebuah partai politik. Kegagalan tersebut sering ditutupi dengan cara instan, yaitu mencari calon pemimpin yang memiliki peluang menang paling besar.
Reza menambahkan, partai politik cenderung mengajukan kepala daerah atas dasar pertimbangan kekuatan finansial dan elektabilitas. ”Mereka sering mengabaikan faktor integritas dari calon kepala daerah tersebut,” ujarnya.
Akibatnya, banyak kepala daerah yang berasal dari partai politik harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Oleh karena itu, kaderisasi dalam partai politik dibutuhkan agar dapat menghasilkan calon kepala daerah yang memahami wilayah yang dipimpin dan tidak menyalahgunakan jabatannya.