Paham radikal bisa mencoreng reputasi kalangan perguruan tinggi. Karena itu, perguruan tinggi berjejaring mengawasi semua kegiatan di kampus.
JAKARTA, KOMPAS—Beredarnya paham radikal di kampus-kampus mencoreng nama pendidikan tinggi dan menghalangi kesempatan kalangan perguruan tinggi masuk peringkat dunia. Untuk itu, semua anggota ekosistem pendidikan tinggi harus berjejaring dan berkomitmen memastikan paham radikal tak menyusup ke kampus dan lingkungan sekitarnya.
”Peredaran paham ekstrem di kampus merusak reputasi perguruan tinggi (PT). Akibat perbuatan buruk sekelompok orang, masa depan bangsa jadi rusak dan komunitas perguruan tinggi terdampak,” kata Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir dalam rapat koordinasi penangkalan paham radikal di perguruan tinggi di Jakarta, Senin (25/6/2018).
Peredaran paham ekstrem di kampus merusak reputasi perguruan tinggi (PT). Akibat perbuatan buruk sekelompok orang, masa depan bangsa jadi rusak dan komunitas perguruan tinggi terdampak.
Rapat itu menghadirkan pembicara Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Suhardi Alius. Selain diikuti para rektor perguruan tinggi negeri, acara itu juga dihadiri perwakilan koordinasi perguruan tinggi swasta (kopertis).
Menurut Nasir, PT-PT berprestasi tak luput dari soal merasuknya paham radikal. Sejak ada kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan pada 1978, paham ekstrem masuk tak melalui partai politik, tetapi lewat aktivitas kemahasiswaan sehingga sukar ditelusuri.
”Melalui rapat ini, PT-PT berjejaring saling membantu. Semua kegiatan di kampus ditarik pengawasannya di bawah kampus demi memastikan tak disusupi kelompok ekstrem,” paparnya.
Suhardi mengatakan, radikalisme yang dimaksud ialah paham intoleran pada kemajemukan bangsa Indonesia, tak mengakui Pancasila sebagai dasar negara, dan tak mengakui Negara Kesatuan Republik Indonesia. ”Tak hanya mahasiswa yang rentan terpengaruh ekstremisme (paham radikal). Dosen dan guru besar berisiko kena,” ujarnya.
Hal itu mengacu pada pencopotan guru besar dan dosen di Universitas Diponegoro dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember yang berafiliasi dengan organisasi transnasional antiPancasila. Sebelumnya, polisi menangkap tiga terduga teroris di pusat kegiatan mahasiswa Universitas Riau.
Pimpinan PT juga menegaskan kembali komitmen mereka mencegah paham radikal masuk kampus dan menanggulangi anggota sivitas akademika yang terpengaruh paham itu. Wakil Rektor Institut Teknologi Bandung Bidang Kemahasiswaan Bermawi Priyatna Iskandar menyatakan, segala kegiatan di kampus ITB tak boleh terkait partai politik ataupun organisasi masyarakat.
Hadir di masyarakat
Salah satu solusi mengemuka dalam rapat itu ialah mempertegas kehadiran kampus di masyarakat sekitar PT. Selama ini PT dinilai kurang terlibat dalam kehidupan masyarakat sekitar sehingga kontribusi PT pada perbaikan keadaan sosial wilayah itu kurang terasa.
Rektor Universitas Gadjah Mada Panut Mulyono menambahkan, dari pengamatan di Yogyakarta, mahasiswa terkena paham radikal di rumah kos, asrama, dan tempat ibadah di sekitar kampus. ”Pihak kampus menyadari tridharma PT dalam bentuk layanan masyarakat belum maksimal jika sivitas akademika tidak bisa membantu mencegah ideologi ekstrem beredar di publik,” ujarnya.
Ia menjelaskan, UGM menggunakan sistem kuliah kerja nyata (KKN). Kuliah kerja nyata umumnya dilakukan selama dua bulan pada semester akhir sebelum mahasiswa lulus. Pada sistem KKN terbaru, mahasiswa bisa mencicil waktu KKN sejak semester awal dalam bentuk kerja sosial.
Programnya adalah melayani masyarakat salah satunya melalui Inspiring Bulaksumur Urban Community. Komunitas ini bekerja sama dengan berbagai lembaga untuk memberdayakan masyarakat di Yogyakarta.
”Mahasiswa hadir di masyarakat. Contohnya, mengisi acara kerohanian di tempat ibadah dan bersosialisasi tentang pentingnya hidup toleran,” kata Panut.