Ikan Arapaima yang Dilepas secara Ilegal Dapat Ganggu Ekosistem
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 34 ikan Arapaima gigas dilepas secara ilegal di Sungai Brantas, Jawa Timur, pada Minggu (24/6/2018). Pelepasan tersebut mengancam keseimbangan ekosistem perairan dan keselamatan masyarakat karena ikan itu merupakan hewan invasif dan predator.
Berdasarkan laporan dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Timur, ikan-ikan itu sengaja dilepas oleh seorang pembudidaya di Desa Canggu, Jawa Timur. Orang tersebut memiliki total 52 ikan Arapaima gigas.
Namun, ia memutuskan untuk melepas 34 ekor ke sungai yang kemudian ditemukan oleh warga sekitar.
Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indra Eksploitasia, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (26/6/2018), menyatakan, pembudidaya tersebut melepaskan ikan karena tidak lagi sanggup memelihara ikan dengan jumlah banyak. ”Saat ini sedang ditangani divisi Ditjen Penegakan Hukum LHK,” ujarnya.
Hingga dikonfirmasi pada pukul 17.00, sejauh ini ada tiga ikan yang tertangkap. Dua ekor telah dipotong dan dimakan warga setempat. Ikan pertama ditemukan di Desa Lengkong, Mojo Anyar, Mojokerto, Jawa Timur, dengan panjang 157 sentimeter dan berat 30 kilogram.
Ikan kedua ditemukan di Desa Mliriprowo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Adapun satu ekor lainnya masih hidup.
Menurut Indra, pelaku melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, tindakannya juga melanggar UU No 45/2009 tentang Perubahan Atas UU No 31/2004 tentang Perikanan.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLHK Djati Wtjaksono Hadi mengatakan, perdagangan satwa langka secara internasional diatur dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES).
Peneliti Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Haryono, menyatakan, ikan Arapaima gigas dapat memiliki ukuran hingga 4,5 meter. Namun, secara umum, ikan itu memiliki ukuran sekitar 2 meter.
Arapaima gigas merupakan ikan invasif, yang berarti bukan berasal dari Indonesia. Ikan itu berasal dari Amerika Latin dan biasanya ditemukan di Sungai Amazon, sungai terbesar di dunia.
Ekosistem Indonesia telah didesain oleh alam dengan sedemikian rupa. Ketika sebuah makhluk hidup asing yang bukan berasal dari Indonesia masuk, keseimbangan ekosistem akan terganggu. Biota asli Indonesia, baik ikan lokal maupun endemik, bisa dimakan.
Jika dihitung, satu ikan dapat mengonsumsi 2 kilogram daging sekali makan. Lebih dari 30 ikan dapat memakan hingga 60 kg ikan. ”Bisa dibayangkan sekali makan bisa ribuan ekor ikan kecil yang dimakan,” tuturnya.
Selain itu, ikan tersebut dapat membahayakan keselamatan manusia, khususnya anak kecil. Ikan tersebut dalam sekali makan dapat mengonsumsi daging seberat 2 kg.
Sebagai hewan yang masuk dalam kategori predator, ikan Arapaima gigas bersifat agresif. Jika ikan dibuang ke perairan air tawar, seperti sungai, kali, empang, atau bendungan, orang yang tidak waspada dapat diserang.
Ikan tersebut dilarang masuk ke Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41/Permen-KP/2014 tentang Larangan Pemasukan Jenis Ikan Berbahaya dari Luar Negeri ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.
Dikontrol
Ikan Arapaima masih banyak ditemukan di Indonesia, baik di kalangan kebun binatang maupun kalangan masyarakat. ”Ikan yang dipelihara masyarakat harus segera didaftarkan agar terkontrol,” ujar Haryono.
Ikan-ikan Arapaima gigas yang dilepas di Sungai Brantas dapat ditangkap untuk kemudian dijadikan ikan hias di kebun binatang. Ikan tersebut memiliki nilai ekonomis yang tinggi, seperti ikan arwana. Satu ikan dengan ukuran di atas 1 meter dapat dijual dengan harga lebih dari Rp 10 juta.
Program Manager Wildlife Conservation Society (WCS) Dwi Adhiasto menambahkan, perlu ada sanksi yang tegas untuk menghukum pemilik satwa liar yang memelihara satwa ilegal dan membuangnya secara tidak bertanggung jawab.
Selain itu, pemerintah juga perlu memperkuat pengawasan pelabuhan agar satwa liar tidak mudah masuk ke Indonesia. ”Penyelundup satwa liar biasanya memanfaatkan pelabuhan terpencil yang kurang pengawasannya untuk masuk,” ujarnya.