Mandek di Awal 2018, Kelanjutan Penataan Sungai Tunggu Pemprov DKI
Oleh
Helena F Nababan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane masih menunggu jawaban Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengenai kelanjutan program normalisasi sungai untuk mengurangi banjir, apakah masih menjadi prioritas. Sejak pendanaan program dihentikan Balai Besar awal tahun ini, DKI belum memberikan penjelasan.
Surat dikirimkan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) pada Mei 2018. Kepastian dari Pemprov DKI ditunggu karena terkait penganggaran. ”Kami berharap ada jawaban secepatnya,” kata Kepala BBWSCC Jarot Widyoko, Sabtu (23/6/2018).
Pada Agustus dan September 2018, BBWSCC segera melakukan lelang. Semakin lama dijawab oleh Pemprov DKI, proses normalisasi sungai pun bisa semakin mundur. Bahkan, anggaran normalisasi sungai baru bisa dianggarkan di APBN 2020.
”Maka dari itu kami berkirim surat lebih awal, mana yang jadi prioritas Pemprov DKI. Kami akan mengikuti DKI mana program yang jadi prioritas. Tapi, silakan usulan DKI disampaikan kepada Pak Menteri (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat), bapak saya juga tahu dan kami bisa segera bekerja,” kata Jarot.
Mengenai surat dari BBWSCC tersebut, Anies menyebut belum tahu dan akan mengecek surat yang dikirimkan pada awal Mei lalu itu.
Informasi awal keberadaan surat itu diperoleh dari Kepala Satuan Kerja Pengelolaan Jaringan Sumber Daya Air BBWSCC Fikri Abdurrahman saat Kompas mewawancarainya pekan lalu. Ia menjelaskan soal normalisasi sungai di Jakarta yang belum juga dilanjutkan tahun ini.
Program kerja sama
Program normalisasi sungai merupakan kerja sama Pemprov DKI dan BBWSCC Kementerian PUPR. Pemprov DKI bertugas membebaskan lahan bantaran, sedangkan BBWSCC adalah pihak yang membangun tanggul, melebarkan, memperdalam, hingga membangun jalan inspeksi di sepanjang bantaran sungai yang dinormalisasi.
Awal tahun ini, normalisasi sungai di Jakarta dihentikan. BBWSCC mengembalikan dana normalisasi ke pusat. Hal itu disebabkan pihak DKI tak kunjung memberikan penjelasan mengenai titik-titik bidang lahan mana yang sudah dibebaskan dan siap dinormalisasi.
Februari lalu, Jakarta diguyur hujan dengan intensitas tinggi dan membuat sungai-sungai meluap. Di Bukit Duri dan menjelang Pintu Air Manggarai, luapan air nyaris menyentuh bagian atas tanggul yang tingginya 1,5 meter.
Atas kondisi itu, BBWSCC kembali menyurati Gubernur Anies Baswedan. Selain mengingatkan soal normalisasi, juga bertanya mengenai prioritas penanggulangan banjir. Lokasinya, termasuk tanah yang sudah bebas.
Seiring banjir itu, BBWSCC berharap DKI sudah memotret titik-titik prioritas untuk melanjutkan normalisasi. ”Kalau itu sudah, mohon Pak Gubernur membuat surat kepada Pak Menteri PUPR, sehingga nanti ada alokasi pendanaan di APBN 2019. Surat belum dijawab,” kata Jarot.
Ditemui setelah Rapat Paripurna DPRD DKI dengan agenda Hari Ulang Tahun Kota Jakarta, Jumat lalu, Anies Baswedan tidak menjawab detail. Mengenai surat dari BBWSCC tersebut, Anies menyebut belum tahu dan akan mengecek surat yang dikirimkan pada awal Mei lalu itu.
Pembetonan
Terkait teknis normalisasi sungai, mengacu pada luapan sungai saat curah hujan tinggi, BBWSCC menilai penanganan bantaran yang belum tersentuh—sepanjang TB Simatupang hingga Manggarai—tak mungkin dengan naturalisasi atau mengembalikan bantaran.
”Belajar dari pengalaman Bukit Duri dan limpasan air yang terjadi, rasanya tidak mungkin kalau tidak dilakukan pembetonan tanpa dibuat parapet seperti di Bukit Duri. Kalau hanya naturalisasi, apa bisa mengatasi banjir? Rasanya tidak mungkin kalau saya lihat,” kata Jarot.
Sebelum semua itu dikerjakan, BBWSCC tetap menunggu DKI, terutana mengenai kejelasan titik di mana saja yang menjadi prioritas untuk pekerjaan normalisasi. Dari normalisasi sungai yang dilakukan sejak 2015, dari total panjang 19 kilometer, saat ini kurang 8,5 kilometer lagi yang belum dinormalisasi.