JAKARTA, KOMPAS – Keputusan Uni Eropa untuk mengubah haluan energi terbarukannya terhadap biofuel yang berbahan kelapa sawit memengaruhi Indonesia. Pemerintah berencana akan menegosiasikan keputusan tersebut dengan penghentian ekspansi lahan.
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang mengatakan, lahan sawit Indonesia yang terdata saat ini seluas 14 juta hektar.
“Kami akan tahan ekspansinya hingga 20 juta hektar. Namun, selisih (enam juta hektar) itu bukan pembukaan lahan baru, tetapi pembaruan pendataan. Kami harap, kebun-kebun yang belum terdaftar dan bersertifikat segera terdata,” tuturnya saat ditemui di Jakarta, Jumat (22/6/2018).
Kami akan tahan ekspansinya hingga 20 juta hektar. Namun, selisih (enam juta hektar) itu bukan pembukaan lahan baru, tetapi pembaruan pendataan. Kami harap, kebun-kebun yang belum terdaftar dan bersertifikat segera terdata
Jumlah lahan ini menjadi sorotan Uni Eropa yang saat ini menjadi salah satu importir terbesar minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) Indonesia. Selain untuk pangan dan komestik, sawit itu dimanfaatkan sebagai biofuel.
Menurut riset yang dihimpun Uni Eropa, emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari perubahan penggunaan lahan, penanaman, pemrosesan, dan distribusi sawit 1,8 kali lipat dari emisi bahan bakar fosil. (Kompas, 22/6/2018)
Menahan lahan sawit di angka 20 juta hektar, menurut Bambang, merupakan langkah negosiasi terhadap keputusan Uni Eropa. Dia juga akan meningkatkan produktivitas yang semula 3 – 3,9 ton per hektar setara CPO menjadi 7 – 10 ton per hektar.
Selain itu, Bambang juga berkomitmen untuk memperbaiki tata kelola industri sawit. Instrumen perbaikannya berupa meningkatkan sertifikasi sistem keberlanjutan minyak kelapa sawit Indonesia atau Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO).
Saat ini, sertifikasi ISPO mencapai 25 persen dari keseluruhan produksi kelapa sawit. Menurut Bambang, sertifikasi ISPO akan mencerminkan legalitas lahan dan kepastian status yang tidak tumpang tindih dengan lahan konservasi.
Sertifikasi ISPO akan mencerminkan legalitas lahan dan kepastian status yang tidak tumpang tindih dengan lahan konservasi.
Pemerintah juga terbuka terhadap sertifikasi lainnya namun memprioritaskan ISPO diterapkan secara menyeluruh. “Keputusan Uni Eropa ini menjadi introspeksi bagi kami untuk berbenah diri dalam tata kelola sawit,” ucapnya.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menambahkan, penundaan pelarangan minyak kelapa sawit sebagai biofuel hingga 2030 oleh Uni Eropa merupakan kesempatan besar untuk perbaikan industri sawit. Dia menekankan, pendekatan ramah lingkungan harus diterapkan.
Oleh sebab itu, Amran menargetkan produktivitas kelapa sawit ditingkatkan dengan lahan yang ada. Dia mengatakan, saat ini produktivitas kelapa sawit telah meningkat sekitar 9 – 10 persen.