JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate dinilai sebagai opsi terakhir untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Baik Bank Indonesia maupun pemerintah dapat menerapkan langkah lainnya untuk menjaga nilai tukar rupiah agar pertumbuhan ekonomi bangsa tidak terganggu.
Sebelumnya, bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve, kembali menaikkan suku bunganya menjadi 1,75 persen hingga 2 persen pada 13 Juni 2018. Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) pun mencatat nilai tukar rupiah kembali melemah.
Nilai tukar rupiah menjadi Rp 14.102 per dollar AS pada 22 Juni 2018 setelah bertengger pada Rp 14.090 per dollar AS pada 21 Juni 2018. Padahal, nilai tukar rupiah sempat menguat menjadi Rp 13.902 per dollar AS pada 8 Juni 2018 sebelum libur Lebaran.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (22/6/2018), mengatakan, BI tidak perlu terburu-buru menaikkan suku bunga acuan. Peningkatan suku bunga acuan akan menghambat pertumbuhan jumlah kredit, yang berujung pada terganggunya pertumbuhan ekonomi bangsa.
BI tidak perlu terburu-buru menaikkan suku bunga acuan. Peningkatan suku bunga acuan akan menghambat pertumbuhan jumlah kredit, yang berujung pada terganggunya pertumbuhan ekonomi bangsa.
”Peningkatan suku bunga yang berikutnya hanya akan menjadi solusi jangka pendek guna mencegah investasi portofolio keluar,” kata Enny. Hingga pertengahan tahun 2018, Bank Indonesia telah dua kali menaikkan suku bunga acuan, masing-masing 25 basis poin (bps). Suku bunga acuan kini menjadi 4,75 persen.
Enny menyatakan, sudah saatnya Indonesia menerima bahwa titik keseimbangan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS kini berada di kisaran Rp 14.000 per dollar AS. Adapun pemerintah memproyeksikan nilai tukar sebesar Rp 13.400 per dollar AS.
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Maxensius Tri Sambodo, menambahkan, suku bunga acuan memang merupakan instrumen yang dalam sekejap membantu menstabilkan nilai tukar rupiah.
Namun, ia mengingatkan, dampak kenaikan Fed Fund Rate tidak hanya dialami oleh Indonesia, tetapi juga negara-negara lainnya sehingga kondisi perekonomian global masih belum stabil. Apalagi, Amerika Serikat dan China sedang dalam perang dagang.
”Kenaikan suku bunga perlu dipikirkan sebagai opsi terakhir. BI harus membaca situasi dengan hati-hati,” kata Maxensius.
Kenaikan suku bunga perlu dipikirkan sebagai opsi terakhir. BI harus membaca situasi dengan hati-hati.
Sebaliknya, Kepala Kajian Makro Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (UI) Febrio Kacaribu menilai sinyal yang diberikan bahwa BI akan meningkatkan suku bunga acuan merupakan langkah tepat.
”BI berada dalam posisi yang dilematis untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Namun, kenaikan suku bunga sesuai dengan tugas BI,” katanya. Tugas BI menjaga nilai tukar rupiah tertera dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Nilai rupiah secara domestik, yaitu inflasi, masih sangat terjaga. Data BI menunjukkan, inflasi pada Mei 2018 berada pada angka 3,23 persen, sementara target inflasi tahun 2018 adalah 3,5 persen (±1 persen). Namun, nilai rupiah secara eksternal harus distabilkan karena terus melemah.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Agusman mengatakan, keputusan BI akan diumumkan setelah Rapat Dewan Gubernur yang akan digelar pada 27-28 Juni mendatang.
Dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, BI siap menempuh kebijakan lanjutan yang pre-emptive, front loading, dan ahead the curve seperti melalui kenaikan suku bunga yang disertai dengan relaksasi kebijakan loan to value (LTV) untuk mendorong sektor perumahan.
Opsi lain
Febrio Kacaribu menyatakan, BI dapat terus mengintervensi pasar valuta asing dan obligasi sebagai opsi jangka pendek untuk menstabilkan rupiah. Kendati demikian, langkah itu akan mengurangi cadangan devisa negara. Oleh karena itu, BI dan pemerintah tetap harus mencermati perilaku pasar secara berkala.
Intervensi menggunakan devisa dinyatakan harus dilakukan secara berhati-hati. Cadangan devisa tidak boleh turun terlalu jauh karena berfungsi sebagai penyangga (buffer) ketika ada permintaan valas dari importir dan pembayaran utang luar negeri.
Data dari BI menunjukkan, cadangan devisa negara pada Mei 2018 turun menjadi 122,9 miliar dollar AS. Adapun jumlah cadangan devisa pada April 2018 masih 124,87 miliar dollar AS dan Maret 2018 126 miliar dollar AS. Cadangan devisa itu masih di atas standar kecukupan internasional untuk sekitar 3 bulan impor.
Enny melanjutkan, pemerintah harus memikirkan langkah lain untuk meningkatkan cadangan devisa negara. Misalnya, pemerintah dapat memanfaatkan sistem perizinan secara elektronik (online single submission/OSS) untuk mendata devisa hasil ekspor (DHE).
Pemerintah harus memikirkan langkah lain untuk meningkatkan cadangan devisa negara.
Pengusaha yang memasukkan DHE dapat diberikan insentif, begitu pula sebaliknya. ”Mungkin penerimaannya hanya sedikit, tetapi setidaknya ada devisa yang masuk,” ujarnya.
Selain itu, pemerintah juga harus mengurangi defisit neraca perdagangan. Hal itu terjadi karena komoditas Indonesia masih bergantung dari impor. Oleh sebab itu, lanjut Enny, pemerintah perlu segera melakukan substitusi bahan baku dan barang modal yang selama ini masih diimpor.