Lebaran Perempuan Urban Pondok Labu
Lebaran merupakan salah satu momen yang sering dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk mudik. Namun tidak bagi para perempuan urban yang tinggal di kampung pemulung RT 11/ RW 09, Kelurahan Pondok Labu, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan ini.
Mereka terpaksa harus memendam keinginan mereka untuk mudik karena kendala biaya. Jangankan untuk mudik, untuk makan saja, menurut mereka, masih kurang. Sebagian besar dari mereka bahkan sudah lupa kapan terakhir mereka mudik.
Lebaran di kampung pemulung ini berlalu tanpa hiruk pikuk perayaan yang spesial. Pagi mereka sholat Idul Fitri, kemudian kembali bekerja seperti biasanya. Tak ada opor ayam atau ketupat, apalagi baju baru.
Kampung ini mayoritas dihuni oleh perempuan urban yang bekerja sebagai pemulung, asisten rumah tangga, dan buruh serabutan. Suami-suami mereka kebanyakan adalah petugas kebersihan di perumahan sekitar tempat mereka tinggal. Para perempuan ini mayoritas berasal dari Brebes, Purbalingga Boyolali, Semarang, Jawa Tengah dan Bekasi, Bogor, Karawang, Jawa Barat.
Menurut data RT 11/RW 09, ada 125 keluarga yang tinggal di daerah tersebut. 70 keluarga diantaranya bekerja sebagai pemulung. Mereka rata-rata melakukan urbanisasi ke Jakarta sejak tahun 1990an dan baru pindah ke kampung pemulung ini sejak 2008 lalu.
"Pertama kali datang ke Jakarta ikut saudara, katanya di Jakarta ada kerjaan," jelas Roimah (34), seorang pemulung asal Brebes, Senin (18/6/2018).
Motivasi sebagian besar para perempuan ini datang ke Jakarta adalah karena ingin mendapatkan penghasilan yang layak. Saat di kampung halaman mayoritas mereka bekerja sebagai buruh tani dengan penghasilan tidak tetap. Dalam satu kali proyek mereka mendapatkan upah antara Rp.40 ribu hingga Rp.60 ribu.
"Kalau buruh tani di kampung tidak pasti, kadang ada (proyekan) kadang enggak. Padahal kita selalu butuh uang untuk hidup," kata Rosita, asisten rumah tangga asal Bumiayu, Jawa Tengah.
Bekerja sebagai pemulung dan asisten rumah tangga membuat mereka memiliki penghasilan antara Rp.800 ribu hingga Rp.1,5 juta. Uang itu biasanya mereka pakai untuk makan, membayar uang sewa rumah, tagihan listrik, biaya sekolah anak dan memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Ketika uang itu tidak cukup sering kali mereka berhutang kepada Rubiyo (56), salah satu pengepul sampah di daerah itu. Sebagai gantinya, barang hasil pulungan suami mereka harus dijual kepada Rubiyo.
"Kadang juga sering dikasih beras atau sayur layu sama orang-orang yang kasian waktu lihat saya memulung," ungkap Roimah.
Datang tanpa \'bekal\'
Sebagian besar perempuan urban yang datang ke Jakarta di daerah ini mengaku datang tanpa \'bekal\' apapun. Tidak ada ijazah, tidak punya keahlian khusus lain, mereka hanya bermodal tekad dan keinginan yang kuat untuk memperbaiki perekonomian keluarga.
Tuminah salah satunya, ia mengaku sudah melakukan urbanisasi sejak tahun 1995. Min, begitu ia akrab disapa, mengaku bekerja sebagai asisten rumah tangga karena memang tidak mempunyai keahlian lainnya.
"Cuma lulusan SD, ijazahnya juga udah ilang. Mana ada perusahaan yang mau terima ? Akhirnya kerja kaya gini," tambah Tuminah (48), perempuan urban asal Purbalingga.
Membereskan \'masalah\' orang lain
Seperti yang pernah dikatakan oleh Aristoteles bahwa tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri. Hubungan saling menguntungkan antara masyarakat Jakarta dan para urban ini salah satunya.
Di saat orang-orang mudik, para perempuan urban ini tetap tinggal di Jakarta untuk mengais rejeki. Pekerjaan para perempuan ini sering dipandang sebelah mata. Padahal mereka bekerja untuk menyelesaikan "masalah orang lain".
Masyarakat Jakarta, terutama yang bekerja dari pagi hingga sore di kantor kebanyakan tidak memiliki waktu untuk mengurus masalahnya sendiri, yaitu soal sampah. Dengan bantuan para pemulung ini, masalah mereka tersebut terpecahkan.
Bernadeta Prihantini (29), adalah seorang karyawan swasta yang memiliki mobilitas tinggi. Pagi hari pukul 07.20 ia sudah harus bergegas menuju kantornya di kawasan Jakarta Selatan dan baru akan kembali ke rumahnya pada pukul 17.30. Aktivitas itu berlangsung selama 6 kali dalam seminggu.
"Saya sering tidak ada waktu mengurus sampah, dan terbantu dengan kehadiran mereka (petugas kebersihan, suami para perempuan urban)," jelas Bernadeta.
Kehadiran seorang asisten rumah tangga seperti Tuminah dan Rosita juga sangat membantu para majikan mereka dalam membereskan urusan rumah tangga. Mulai dari membersihkan rumah, mencuci, memasak dan mengurus anak, mereka membutuhkan bantuan asisten rumah tangga.
"Bos saya sibuk, kerja dari pagi sampai malam terus, anaknya semua saya yang urus," ujar Tuminah.
Di masa Lebaran ini Tuminah mengaku bisa meraup keuntungan lebih. Pasalnya, dia juga bekerja sebagai asisten rumah tangga infal bagi keluarga lain. "Majikan saya lagi mudik, ini saya infal. Lumayan lah pengahasilannya bisa ditabung," ucap Tuminah.