Setiap tahunnya, usai Libur Lebaran, puluhan ribu orang merantau ke Jakarta demi meraih mimpi: untuk hidup yang lebih sejahtera. Namun, tidak semuanya berhasil menggapai mimpi itu. Sebagian harus menerima kenyataan bahwa mimpi itu gagal terwujud.
Suridi (66), pemulung asal Brebes, Senin (18/6/2018), tidak bisa lagi mengingat tahun berapa ia merantau ke Jakarta. "Pokoknya zaman Pak Harto masih muda saya udah merantau ke sini," tegasnya.
Di RT 11/RW 9 Kelurahan Pondok Labu, Jakarta Selatan, ada 125 keluarga tinggal dalam sejumlah bedeng reot seluas lebih kurang sembilan meter persegi. Kini, wilayah tempat tinggal mereka itu dikenal sebagai Kampung Pemulung Pondok Labu.
Suridi mengatakan ia berkeras hati untuk merantau ke Jakarta karena ingin mendapat penghasilan lebih besar. "Di kampung enggak ada kerjaan, mendingan di sini, walaupun jadi pemulung tetap bisa nyekolahin tujuh anak sampai lulus SMA semua," ucapnya bangga.
Menurut Data Penduduk RT 11, mayoritas keluarga yang tinggal di Kampung Pemulung, 70 keluaga, memang berprofesi sebagai pemulung. Namun, sisanya ada juga yang berprofesi sebagai petugas kebersihan kompleks, Petugas Prasarana dan Sarana Umum (PPSU), asisten rumah tangga, buruh serabutan dan pengamen.
Meskipun profesi mereka beragam, mereka sama-sama orang perantauan yang datang ke Jakarta untuk mengadu nasib. Sebagian besar datang dari daerah Jawa Tengah, seperti Brebes, Pemalang, Majenang, Boyolali, dan Semarang. Yang lainnya berasal dari daerah Jawa Barat, seperti Bekasi, Bogor, dan Karawang.
Darsono (60), pemulung asal Brebes, mengatakan, dulu, ia memilih bekerja sebagai pemulung di Jakarta karena harus mengumpulkan uang untuk membeli obat bagi ibunya."Saya sudah lebih dari 20 tahun jadi pemulung, sempat pindah-pindah lokasi, tetapi akhirnya ikut salah satu pelapak di tempat ini," katanya.
Di Pondok Labu, pelapak adalah pengepul barang rongsok yang mempekerjakan sejumlah pemulung. Selain berkewajiban membeli hasil pulungan anak buahnya, pelapak juga bertanggung jawab menyediakan tempat tinggal.
"Ikut orang (pelapak) itu enggak enaknya barang kita dibeli (dengan harga) lebih murah dari harga pasar," kata Ngatiman (60), seorang pemulung asal Majenang. Hal itu dimungkinkan karena para pelapak menggratiskan sewa tinggal bagi anak buahnya. Sebagai gantinya, mereka membeli hasil pulungan dengan harga yang lebih murah.
Ngatiman menyatakan ia terpaksa merantau ke Jakarta karena usahanya bangkrut. "Dulu, di kampung, saya punya usaha jual beli kayu. Omzetnya lumayan, sehari saya bisa dapat Rp 700 ribu," ujarnya.
Kebangkrutan usaha itu menjadi alasan Ngatiman merantau ke Jakarta. "Setelah bangkrut, saya malu tinggal di kampung, abis jadi juragan kayu masa jadi buruh tani," katanya.
Usaha jual beli kayu milik Ngatiman bangkrut karena ia ditipu oleh koleganya. "Kalau terus di kampung enggak akan bisa ngasih makan istri dan empat anak saya," ucapnya.
Kini ia harus tinggal bersama keluarganya di bedeng yang disediakan oleh pelapak tempat ia bekerja. Bedeng itu luasnya hanya sekitar sembilan meter persegi. Dinding dan atapnya terbuat dari bahan bangunan bekas yang ia dapat waktu ia pergi memulung.
Senada dengan Darsono dan Ngatiman, Sanuri (40), pemulung asal Brebes, juga mengatakan terpaksa merantau ke Jakarta karena tidak bisa mendapat pekerjaan di kampung. "Di kampung saya, kalau enggak punya sawah, yang kita bisa cuma nunggu orang nyuruh buat jadi buruh tani waktu tanam atau panen," ujarnya.
Sanuri mengatakan datang ke Pondok Labu karena ajakan kerabatnya. "Tahun 1999 saya diajak ikut kakak ipar saya ke Jakarta. Dulu dia salah satu pelapak di Pondok Labu," ujarnya.
Ia sudah 19 tahun tinggal di Pondok Labu sebagai pemulung. Tiga kali sudah ia berpindah lapak. Awalnya ia ikut kakak iparnya, lalu pindah menjadi anak buah Rubiyo, dan sekarang ia bekerja sebagai anak buah Gimin.
Meski harus hidup di bedeng sempit seperti kawan-kawannya di Pondok Labu, tidak pernah terbesit dalam pikiran Sanuri untuk kembali pulang ke kampung halamannya. "Lebih baik jadi pemulung di sini. Kalau pulang, orang kampung pasti nganggap saya gagal," pungkasnya