Investasi Film Dinilai Lebih Menguntungkan Dibandingkan ”Startup”
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Beberapa tahun terakhir, investasi di industri perfilman nasional mulai menggeliat. Bahkan, dibandingkan dengan bisnis startup atau perusahaan rintisan, industri film dinilai lebih menjanjikan karena periode likuiditas investasinya cepat.
Sebagai gambaran saja, dari 40 film yang diikutsertakan pada forum pembiayaan dan investasi untuk perfilman Indonesia, Akatara 2017, sebanyak 10 film akhirnya dipinang oleh investor. Kondisi ini memberikan angin segar bagi para sineas di tengah lonjakan jumlah penonton film nasional yang naik dari 16 juta tiket terjual pada 2016 melonjak menjadi 42,6 juta tiket terjual pada 2017.
Tahun ini, Akatara 2018 siap menawarkan 50 proposal proyek film terpilih kepada puluhan investor, baik dari dalam maupun luar negeri. Ajang ini diharapkan bisa menumbuhkan ekosistem perfilman yang sehat di Indonesia.
Pendaftaran proposal dan calon investor Akatara 2018 dibuka pada 20 Juni-20 Juli 2018. Selain membuka proposal produksi film, Akatara 2018 juga menerima proposal nonproduksi film, antara lain kanal konten digital, kursus film, atau pameran-pameran film di daerah.
Yang menarik lagi adalah bisnis industri perfilman kini lebih dilirik dibandingkan dengan bisnis perusahaan rintisan. Ideasource, misalnya, tahun ini berkomitmen menanamkan investasi pada 10 film nasional.
”Kami mulai investasi di Akatara karena nilai ekuiti investasi di bidang startup yang biasa kami tangani periodenya lebih lama,” kata Managing Partner Ideasource Edward Ismawan Chamdani.
Sebagai gambaran, jika satu proyek laku keras di pasaran, proyek ini bisa menutup 10 investasi lainnya. Sementara jika investasi sebuah proyek startup gagal, nilai investasinya langsung menjadi nol. Karena itulah, Ideasource yang awalnya menanamkan investasi pada 27 startup kini lebih fokus berinvestasi pada industri perfilman.
Pendongkrak wisata
Dalam buku Shooting Lancar Daerah Tenar, Pedoman Pembentukan Komisi Daerah yang diterbitkan Badan Ekonomi Kreatif (2017) disebutkan, berdasarkan studi yang dilakukan Simon Hudson dan JR Brent Ritchie (2006), terdapat pengaruh yang cukup signifikan antara pembuatan film di suatu wilayah dan peningkatan wisatawan di wilayah tersebut.
Shooting film Mission: Impossible II (2000), misalnya, mampu meningkatkan pendapatan taman nasional di Sidney, Australia, hingga 200 persen pada 2000.
Hal serupa juga terjadi di Indonesia ketika sejumlah film diproduksi di beberapa titik lokasi, antara lain Ada Apa dengan Cinta? 2 (2016) yang membuat booming beberapa tempat wisata di Yogyakarta dan Jawa Tengah, juga lonjakan pengunjung Taman Nasional Bromo Tengger Semeru setelah shooting film 5 cm (2012).
Namun, rupanya potensi ini belum banyak dilirik pemerintah daerah setempat. Tak heran, fasilitas layanan pembuatan film oleh pemerintah daerah pun minim. Karena itulah, pembentukan Komisi Film Daerah diharapkan dapat meningkatkan pendapatan daerah sekaligus memacu pertumbuhan ekonomi sebagai dampak dari pembuatan film di daerah.
Negara-negara tetangga ASEAN sudah mulai bergeliat mempromosikan wilayahnya masing-masing sebagai lokasi shooting film. Oleh karena itu, Indonesia pun tidak boleh ketinggalan, terutama karena wilayah Indonesia memiliki ragam potensi bentang alam juga manusia serta kebudayaannya.
”Negara-negara tetangga ASEAN sudah mulai bergeliat mempromosikan wilayahnya masing-masing sebagai lokasi shooting film. Oleh karena itu, Indonesia pun tidak boleh ketinggalan, terutama karena wilayah Indonesia memiliki ragam potensi bentang alam juga manusia serta kebudayaannya,” tutur Ketua Bekraf Triawan Munaf.
Indonesia beberapa kali digunakan untuk shooting film produksi asing, seperti Eat Pray Love (Ryan Murphy, 2010), Alex Cross (Rob Cohen, 2012), Savages (Oliver Stone, 2012), dan Black Hat (Michael Mann, 2015).