Peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga kiranya pas menggambarkan kondisi lahan pangan kita. Sudah sempit, tergerus pula. Lahan subur tergusur, sementara upaya mencetak baru terseok-seok. Realisasi cetak sawah baru juga kalah langkah dari alih fungsi lahan ke nonpertanian.
Luas lahan pangan Indonesia terbilang rendah. Dengan populasi 248,5 juta jiwa tahun 2012/2013 dan luas lahan pertanian 14,1 juta hektar, maka rata-rata luas lahan pangan Indonesia 568,7 meter persegi per kapita. Bandingkan dengan China yang mencapai 1.120 meter persegi per kapita pada kurun waktu yang sama, Thailand 5.225 meter persegi per kapita, atau Australia 26.264 meter persegi per kapita.
Dengan lahan yang terbatas, sulit mewujudkan swasembada beberapa komoditas pangan sekaligus. Oleh karena itu, ketika produksi padi jagung, bawang merah, dan beberapa komoditas diklaim surplus atau meningkat secara bersamaan, sebagian kalangan meragukannya. Sebab, apa yang terjadi di lapangan adalah situasi ”tarik sarung”, saat satu sisi ditarik maka sisi lain melorot.
Istilah tarik sarung sering dipakai untuk menggambarkan tumpang tindihnya pemakaian lahan pangan. Peningkatan produksi di satu komoditas biasanya diikuti penurunan di komoditas lain. Sebab petani biasanya menggilir komoditas dalam pola penanamannya. Selain itu, tidak ada penambahan luas lahan atau intensifikasi yang signifikan dalam prosesnya.
Pada saat yang sama, tekanan terhadap lahan pangan bertambah besar seiring pertumbuhan penduduk dan kebutuhan tanah untuk keperluan nonpertanian, terutama di Pulau Jawa. Padahal, selain subur, Jawa memiliki 3,4 juta hektar sawah atau sekitar 44 persen dari total luas persawahan di Indonesia yang mencapai 7,74 juta hektar.
Konversi lahan pun terus terjadi. Sensus Pertanian (SP) tahun 2003 dan 2013 bisa jadi gambaran bagaimana lahan pangan kian tergerus. Selama kurun 10 tahun itu, 508.000 hektar lahan pertanian di Pulau Jawa beralih kepemilikan dari rumah tangga petani ke nonpetani. Alih kepemilikan terbesar, yakni 204.318 hektar atau sekitar 40 persen, terjadi pada lahan berluas kurang dari 0,1 hektar.
Ironisnya, meski jadi sumber penghidupan mayoritas tenaga kerja sektor pertanian, luas lahan pangan hanya bertambah 2,96 persen. Sementara lahan perkebunan yang dimiliki oleh lebih sedikit orang bertambah 144 persen.
Alih kepemilikan semakin memperbesar peluang konversi lahan untuk keperluan nonpertanian. Sensus itu juga mencatat jumlah rumah tangga (RT) yang terlibat di sektor pertanian berkurang dari 9,38 juta RT tahun 2003 jadi 4,33 juta RT tahun 2013. Tren ini diyakini terus berlangsung. Sebab, selama kurun 2008-2017, jumlah tenaga kerja di pertanian pangan berkurang dari 20,05 juta jiwa jadi 14,44 juta jiwa.
Penguasaan
Tanpa upaya ekstra, problem penyediaan pangan bakal semakin pelik di masa depan. Sayangnya, cetak sawah yang diharapkan mengkompensasi konversi terseok-seok dalam perjalanannya. Tahun 2018, targetnya ditekan jadi 12.000 hektar, antara lain karena alasan anggaran. Tahun 2016, realisasinya diklaim 129.096 hektar dan tahun 2015 mencapai 20.070 hektar. Namun, sejumlah pihak mempertanyakan efektivitasnya.
Ironisnya, meski jadi sumber penghidupan mayoritas tenaga kerja sektor pertanian, luas lahan pangan hanya bertambah 2,96 persen selama kurun tahun 1986 hingga 2012. Sebaliknya, lahan perkebunan yang dimiliki oleh lebih sedikit orang bertambah 144 persen. Ketimpangan penguasaan lahan menjadi problem mendasar lain di sektor pertanian yang perlu segera diselesaikan pemerintah.
Rasio gini lahan pertanian terbilang mengkhawatirkan. Kementerian Agraria dan Tata Ruang mencatat, indeks gini lahan pertanian mencapai 0,59. Artinya satu persen penduduk menguasai 59 persen aset lahan pertanian.
Tak hanya timpang, masa depan produksi pangan juga terancam. Sebanyak 56 persen rumah tangga tani menguasai 13,3 persen lahan pertanian dengan luas rata-rata kurang dari 0,5 hektar alias gurem. Belasan juta petani lainnya tak punya lahan dan bekerja sebagai buruh tani.
Data lain terkait penguasaan lahan menunjukkan ketimpangan. Angkanya tak menggembirakan sekaligus menegaskan bahwa hak dasar rakyat atas tanah belum terpenuhi. Oleh karena itu, pelaksanaan reforma agraria menjadi semakin urgen. Kiranya, sebelum hak-hak itu ditunaikan negara, layaklah kita terus menyoal ketimpangan yang masih terjadi.