Ironi Negara Tropis
Letak geografis Indonesia di garis ekuator dengan paparan sinar matahari yang berlimpah membuat penduduk Indonesia memiliki sumber vitamin D yang tak terbatas. Namun kenyataannya, banyak penduduk Indonesia yang kekurangan vitamin D.
Saat ini defisiensi (kekurangan) vitamin D telah menjadi persoalan kesehatan global. Tidak hanya di negara dengan empat musim dan negara tropis, defisiensi vitamin D ternyata juga terjadi di negara maju di mana fortifikasi (penambahan) vitamin D telah dilakukan bertahun-tahun dan terjadi pada semua kelompok umur.
Data South East Asia Nutrition Surveys (SEANUTS) di 48 kabupaten di Indonesia tahun 2011 menunjukkan, prevalensi status vitamin D yang sesuai harapan (desirable) pada anak usia 1-12,9 tahun hanya 5,6 persen. Ini ditandai dengan kadar 25-hydroxyvitamin D di atas 75 nmol/l (nanomoles per liter).
Jika dibandingkan dengan anak kelompok umur yang sama dari negara lain yang juga menjadi lokasi studi SEANUTS, prevalensi kecukupan vitamin D anak di Indonesia paling rendah. Prevalensi anak di Malaysia 16,3 persen, Thailand 19,2 persen, dan Vietnam 22,4 persen.
Prevalensi kecukupan vitamin D anak dari wilayah perkotaan dan pedesaan tidak jauh berbeda. Prevalensi anak di kota 6,7 persen dan anak di desa 4,4 persen. Prevalensi kecukupan vitamin D menurut jenis kelamin pun tidak berbeda, laki-laki 6,6 persen dan perempuan 4,6 persen.
Studi lain yang juga relevan adalah studi oleh dosen Departemen Gizi dan Kesehatan di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Dian Caturini Sulistyoningrum, pada tahun 2015-2016. Penelitian terhadap 68 anak laki-laki obesitas usia 15-18 tahun di 10 sekolah di Yogyakarta itu menunjukkan, semua anak yang menjadi responden mengalami kekurangan vitamin D.
Penelitian terhadap 68 anak laki-laki obesitas usia 15-18 tahun di 10 sekolah di Yogyakarta itu menunjukkan, semua anak yang menjadi responden mengalami kekurangan vitamin D.
Rata-rata kadar vitamin D dalam darah para remaja itu hanya 15 nanogram per desiliter (ng/dL). Sedangkan kadar vitamin D dalam darah sesuai standar seharusnya berada di kisaran 20 ng/dL.
Rendahnya kadar vitamin D dalam tubuh, menurut Dian, dapat meningkatkan faktor risiko seseorang terkena penyakit tidak menular seperti kardiovaskular, hipertensi, dislipidemia, intoleransi glukosa, diabetes, serta berhubungan dengan kejadian penyakit otoimun.
Setelah diintervensi dengan memberikan suplemen vitamin D sebanyak 800 internatonal unit (IU) per hari selama 6 minggu, hasilnya resistensi insulin membaik. Dengan begitu, pemberian suplemen dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan kekurangan vitamin D.
Paparan sinar matahari
Menurut Dian, sebenarnya paparan sinar matahari sudah bisa memenuhi kecukupan vitamin D. Terlebih di negara ini sinar matahari sangat berlimpah. “Sebanyak 90 persen kebutuhan vitamin D bersumber dari sinar matahari, sementara yang lain bisa dipenuhi dengan konsumsi makanan seperti ikan tuna, makarel (ikan tenggiri, kembung), telur, susu, dan lainnya,” kata Dian.
Sebanyak 90 persen kebutuhan vitamin D bersumber dari sinar matahari, sementara yang lain bisa dipenuhi dengan konsumsi makanan.
Sayangnya, sebagian anak sekolah sekarang terutama yang ada di perkotaan makin sedikit terpapar matahari. Mereka berangkat sekolah saat hari masih gelap dan pulang ketika hampir gelap juga. Aktivitas fisik juga terbatas. Sekalipun beraktivitas fisik sebagian dilakukan di dalam ruangan.
Di saat yang sama asupan makanan yang kaya akan vitamin D seperti ikan kembung, telur, dan susu juga rendah. Anak-anak cenderung mengonsumsi makanan yang hampa nutrisi tetapi tinggi kalori. Akibatnya, mereka menjadi kegemukan. Lemak pun banyak menutupi organ-organ vital dalam tubuh (lemak visceral).
Semakin gemuk seseorang ada kecenderungan memiliki status vitamin D yang kurang juga. Hipotesisnya, lemak visceral menampung banyak vitamin D sehingga tidak sampai ke dalam darah. Simpanan lemak tubuh berbanding lurus dengan kekurangan vitamin D. Seperti diketahui bahwa vitamin D merupakan salah satu vitamin yang larut dalam lemak.
Di dalam tubuh, vitamin D berperan sebagai faktor elemen yang berperan dalam berbagai jalur metabolisme. Awalnya defisiensi vitamin D sering diasosiasikan dengan kejadian penyakit otoimun. Namun, belakangan kekurangan vitamin D juga dikaitkan dengan munculnya penyakit tidak menular lain seperti penyakit kardiovaskular.
Ketua Program Studi Magister Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Inge Permadi, mengatakan, sebenarnya hanya dengan paparan sinar matahari kebutuhan vitamin D akan terpenuhi. Paparan sinar ultraviolet B pada kulit akan mensintesis 7-dehydrocholesterol yang ada dalam lemak di bawah kulit (subkutan) untuk kemudian diproses di hati dan ginjal.
Sinar matahari yang pas untuk dimanfaatkan adalah sinar matahari pada pukul 09.00-14.00. “Paparkan kulit kita pada sinar matahari hingga muncul semburat merah pada kulit. Itu sudah cukup. Semakin gelap kulit kita maka diperlukan paparan sinar matahari yang lebih lama,” kata Inge.
Sinar matahari yang pas untuk dimanfaatkan adalah sinar matahari pada pukul 09.00-14.00.
Sayangnya, kesadaran masyarakat akan pentingnya vitamin D dan peran sinar matahari sebagai sumber vitamin D yang berharga belum terbangun. Ada faktor lain yang memengaruhi status vitamin D seseorang, yaitu perilaku kita terhadap sinar matahari. Sebagian besar masyarakat kita cenderung tidak terlalu suka terpapar sinar matahari. Ada banyak alasannya mulai dari tidak suka terpapar panas, takut hitam, takut kulit dan rusak, atau takut terkena penyakit tertentu.
Untuk mencegah anak-anak dari ancaman kekurangan vitamin D, Dian merekomendasikan agar anak-anak cukup terpapar sinar matahari dan banyak beraktivitas fisik. Aktivitas fisik di luar ruang bahkan memiliki peran ganda, yaitu membuat anak lebih terpapar sinar matahari sekaligus untuk membakar lemak dalam tubuh.