Para perempuan pekerja rumahan di Kelurahan Nusa Jaya, Karawaci, Tangerang, Banten, Kamis (31/5/2018), menerima pembagian kertas-kertas kraft yang akan dibuat menjadi tas kertas (paperbag).Selama beberapa tahun terakhir, mereka rutin menerima pesanan pekerjaan dari agen tas kertas. Tidak ada kontrak kerja resmi, hanya pesanan secara lisan.
Jarum jam hampir menunjukkan pukul 22.00, Kamis (31/5/2018). Di sebuah rumah di dalam gang sempit, di Kelurahan Nusa Jaya, Karawaci, Tangerang, Banten, sepuluh perempuan (mayoritas ibu rumah tangga) berkumpul. Satu persatu mengambil tumpukan potongan kertas kraft berwarna coklat muda, masing-masing 300 lembar beserta lem, kemudian membawa pulang ke rumahnya.
Potongan kertas kraft tersebut adalah bahan tas kertas (paper bag) pesanan dari salah satu agen tas kertas di Tangerang. “Harus segera dikerjakan malam ini. Besok pagi paling lambat jam 09.00 harus selesai dan disetor ke agen, karena hari berikut sudah datang kerjaan yang baru,” ujar Inem (47).
Selama beberapa tahun terakhir, mereka rutin menerima pesanan pekerjaan dari agen tas kertas. Tidak ada kontrak kerja resmi, hanya pesanan secara lisan. Namun, target kerja tak kalah dengan pabrik-pabrik besar. Pekerjaan harus selesai dalam setengah hari, agar ada pekerjaan lagi besok harinya.
Meski demikian, upah yang diterima sangat rendah. Untuk menyambung kertas (mengelem) dihargai Rp 170 per tas, untuk melubangi kertas Rp 15 per tas, dan memasang tali Rp 20 per tas. Satu orang mengerjakan rata-rata 150-300 tas kertas per hari. Menjelang hari raya, bisa sampai 500 tas.
Mereka tidak punya jam kerja. Pesanan biasanya dikerjakan sambil mengerjakan tugas rumah tangga. Tapi karena ditarget, biasanya mereka lembur sepanjang malam, bahkan sampai subuh. Untuk membuat 200 buah tas, membutuhkan sekitar 5-6 jam, upahnya Rp 34.000 per hari dan dibayar dua minggu sekali Rp 481.000.
Mereka hanya diberikan kertas kraf, diberikan lem dan tali. Bagaimana proses kerja, sang pemberi kerja tidak memberikan arahan sama sekali, kecuali contoh tas kertas. Peralatan pun cuma alat pelubang kertas biasa. Itu pun tidak bisa digunakan.
“Kami harus cari akal bagaimana agar pekerjaan efisien dan hasil kerja rapi," tambah Inem.
Di kelurahan tersebut, ada sekitar 50 perempuan (sebagian janda/orangtua tunggal) yang rutin menerima pekerjaan dari agen atau pabrik tekstil. Selain membuat tas kertas/tas suvenir lainnya, mereka juga menerima pekerjaan dari pabrik konveksi seperti melepaskan benang-benang dan payet dari pakaian, dan menjahit seragam sekolah.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Muzulhayani (44), perempuan pekerja rumahan di Kelurahan Nusa Jaya, Karawaci, Tangerang, Banten, Kamis (31/5/2018) mengerjakan pesanan tas kertas (paper bag) dari salah satu agen tas kertas. Selama beberapa tahun terakhir, dia bersama komunitas perempuan pekerja rumahan rutin menerima pesanan pekerjaan dari agen tas kertas.
Pendampingan
Perempuan pekerja rumahan di Tangerang, adalah salah satu komunitas yang selama beberapa tahun terakhir mendapat pendampingan dari MAMPU (Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan) bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil.
"Selain memberikan pemahaman tentang sistem tenaga kerja, melalui program ini mereka juga diajarkan bagaimana belajar menegosiasiakan kontrak kerja dengan pihak yang mempekerjakan mereka," ujar Amron Hamdi, Communication and Knowledge Management Manager MAMPU.
Pendampingan sangat penting, sebab pengalihan pekerjaan kepada pekerja rumahan menciptakan status hubungan kerja yang tidak pasti, upah rendah, posisi tawar lemah, kondisi kerja yang buruk, waktu kerja yang tidak jelas, tidak ada perlindungan jika terjadi perselisihan, fasilitas dan alat kerja yang minim. Sementara pihak pengusaha dapat menyederhanakan proses produksi dan mengurangi beban/ongkos produksi hingga upah kerja, jaminan sosial, maupun aturan ketenagakerjaan lainnya yang beralih menjadi beban dan tanggungjawab pekerja rumahan.
Berkat pendampingan, perempuan pekerja rumahan mulai berdaya. Di Tangerang misalnya, kini mereka berani bicara dan menegosiasikan upahnya sehingga upahnya langsung dibayar. "Tahun lalu upah kami baru dilunasi habis Lebaran. Tahun ini tidak lagi," kata Inem.
Temuan SMERU
Penelitian The SMERU Research Institute, tahun 2017 terhadap 1.244 responden perempuan pekerja rumahan di Deli Serdang (Sumatera Utara), Kubu Raya (Kalimatan Barat), Cilacap (Jawa Tengah), Pangkajene dan Kepulauan (Sulawesi Selatan), dan Timor Tenggah Selatan (Nusa Tenggara Timur) menemukan sejumlah hal.
"Selain upah rendah, hubungan antara pekerja rumahan dan pemberi kerja tidak tertuang dalam perjanjian tertulis/kontrak atau hanya hanya secara lisan. Bahkan sebagian bekerja tanpa perjanjian apa pun," ujar Ana Rosidha Tamys, Peneliti SMERU.
Hasil penelitian SMERU menemukan, hanya sebagian kecil saja dari responden (9 persen) yang memiliki perjanjian tertulis. Sebagian besar, bahkan lebih dari setengah responden (54 persen) mengaku menjadi pekerja rumahan tanpa ada pengetahuan di awal dengan jelas mengenai hak dan kewajibannya. Sebanyak 37 persen terikat oleh perjanjian tidak tertulis.
“Dari sisi upah, untuk perempuan pekerja rumahan pada pekerja sub kontrak, upahnya ditentukan berdasar banyaknya pekerjaan yang berhasil diselesaikan. Penentuan upah dilakukan secara sepihak oleh pemberi kerja. Di luar upah, sebagian besar tidak menerima apapun dari pemberi kerja,” tambah Nila Warda, peneliti SMERU.
Di Deli Serdang, perempuan pengupas bawang putih dihargai Rp 800 per kilogram dan bawang merah Rp 1.500 per kg. Mereka mendapat pesanan sekitar 18-20 kg dengan target waktu kerja 1-2 hari.
Di Pangkajene dan Kepulauan (Sulsel) perempuan pengupas kulit mete mendapat upah Rp 2.500 per kg untuk pengupas kulit luar dan Rp 2.000 per kg untuk pengupas kulit ari. Satu rumah dijatah 1 karung mete berisi sekitar 20-30 kg untuk dikerjakan selama 3 hari.
DOKUMEN/MAMPU
Perwakilan organisasi/serikat perempuan pekerja rumahan dari tujuh provinsi di Tanah Air yakni Sumatra Utara, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur berkumpul di Medan, bulan Mei 2018, mendirikan Jaringan Pekerja Rumahan Indonesia (JPRI).
Membentuk jaringan
Karena itu sejak 2017 perwakilan organisasi/serikat perempuan pekerja rumahan dari tujuh provinsi di Tanah Air yakni Sumatra Utara, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur mendirikan Jaringan Pekerja Rumahan Indonesia (JPRI), yang difasilitas organisasi Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia (BITRA), Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia (MWPRI), TURC (Trade Union Rights Centre (TURC) dan Yasanti (Yayasan Annisa Swasti) serta didukung MAMPU.
Selain menjadi wadah bersama, melalui JPRI diharapkan perjuangan perempuan pekerja rumahan untuk mendapat pengakuan dari pemerintah segera terwujud.